Entri Populer

Kamis, 29 Maret 2012

Kapan Dibolehkan Memberontak?

Asy-Syaikh Muhammad Ibnu ‘Utsaimin t mengatakan, “Hendaknya diketahui bahwa memberontak (kudeta) kepada penguasa adalah tidak diperbolehkan kecuali dengan syarat-syarat. Rasulullah n telah menerangkannya sebagaimana dalam hadits ‘Ubadah bin ash-Shamit z:
بَايَعْنَا رَسُوْلَ اللهِ n عَلىَ السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنا وَأَلاَّ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، قَالَ: إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا عِنْدَكُمْ فِيْهِ مِنَ اللهِ بُرْهَانٌ
“Kami berbai’at kepada Rasulullah untuk mendengar dan taat baik dalam keadaan kami giat atau tidak suka, susah atau mudah, dalam keadaan mereka mengutamakan diri mereka daripada kami dan agar kami tidak merebut urusan (kepemimpinan) dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali kalian melihat kekafiran yang nyata yang kalian memiliki bukti padanya dari Allah’.”
Dari hadits di atas kita bisa mengambil pelajaran tentang syarat-syarat kapan dibolehkan melakukan pemberontakan kepada pemerintah.
Syarat pertama: Kita melihat, yang maknanya kita mengetahui dengan ilmu yang yakin bahwa penguasa telah melakukan kekafiran.
Syarat kedua: Apa yang dilakukan oleh penguasa adalah benar-benar kekafiran. Bila masih tergolong perbuatan kefasikan maka tidak boleh memberontak bagaimanapun besar kefasikan yang dilakukan penguasa.
Syarat ketiga: Dilakukan dengan terang dan jelas, tanpa mengandung penafsiran lain.
Syarat keempat: Kita memiliki bukti dari Allah l dalam hal ini, yakni hal itu berdasarkan bukti yang pasti dari dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah serta ijma’ umat.
Syarat kelima: Diambil dari dasar-dasar umum agama Islam yaitu kemampuan mereka (rakyat) untuk menumbangkan penguasa. Jika tidak punya kemampuan, maka akan terbalik, sehingga malah mencelakakan rakyat yang justru menimbulkan mudarat yang jauh lebih besar daripada mudarat yang akan diakibatkan jika mendiamkan penguasa tersebut… (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 277—278)
Asy-Syaikh Ibnu Baz t mengatakan, “Tidak boleh memberontak kepada penguasa dan memecah tongkat ketaatan kecuali jika didapati pada penguasa itu kekafiran yang nyata yang ada buktinya dari Allah l di sisi para pemberontak dan mereka mampu untuk itu (melakukan pemberontakan) dengan cara yang tidak menimbulkan kemungkaran dan kerusakan yang lebih besar.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 185)
Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan mengatakan, “Adapun menyikapi penguasa yang kafir (jika benar-benar kafir sebagaimana perincian di atas, red.) maka (menyikapinya) berbeda-beda sesuai dengan keadaannya. Jika kaum muslimin punya kekuatan dan mereka mampu untuk menyingkirkan (penguasa kafir itu) dari kekuasaannya serta menggantikan dengan penguasa muslim maka hal itu wajib atas mereka, dan ini termasuk jihad di jalan Allah l. Adapun jika mereka tidak mampu menyingkirkannya maka tidak diperbolehkan bagi mereka melawan orang-orang zalim dan kafir, karena ini akan mengakibatkan kebinasaan kaum muslimin. Nabi n hidup di Makkah selama 13 tahun setelah kenabian dalam keadaan kepemimpinan waktu itu di tangan orang-orang kafir, dan bersama beliau (telah ada) para sahabat yang masuk Islam akan tetapi beliau tidak melawan orang-orang kafir itu. Bahkan mereka (para sahabat) dilarang untuk melawan orang-orang kafir di masa itu.” (Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 287—288)
Perlu diketahui bahwa berhukum dengan selain hukum Allah l tidak termasuk kekufuran yang nyata akan tetapi termasuk kufrun duna kufrin atau kufur kecil (lihat pembahasan tentang Kufur pada Majalah Syariah edisi 4) kecuali jika:
1.    Meyakini bahwa selain hukum Allah l lebih baik dari hukum Allah l.
2.    Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah l boleh dan sama dengan hukum Allah l.
3.    Meyakini bahwa berhukum dengan selain hukum Allah l boleh walaupun meyakini bahwa hukum Allah l lebih baik dari hukum selainnya. (Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 91)
Wallahu a’lam.

Cara Menasehati Penguasa

Mungkin akan muncul pertanyaan, apakah dalam menyikapi kesalahan-kesalahan penguasa kita harus selalu sabar, diam, dan menerima sepenuhnya apa yang dilakukan penguasa? Lantas bagaimana dengan anjuran untuk melakukan ingkarul mungkar dan memberikan nasihat kepada penguasa, yang notabene keduanya adalah bagian dari prinsip-prinsip Islam yang tidak mungkin ditinggalkan?
Untuk menjawabnya, kita harus memulai dengan memahami bersama bahwa memberikan nasihat kepada penguasa adalah sebuah perkara besar karena menyangkut kemaslahatan atau mafsadah total (menyeluruh) menyangkut masyarakat/rakyat. Di dalamnya terkait keamanan atau ketakutan rakyat serta terlindungi atau tertumpahkannya darah mereka.
Sehingga sangat mustahil bila Nabi n tidak menerangkan masalah yang demikian prinsip ini dan sangat dibutuhkan umatnya sepanjang mereka hidup, sementara di sisi lain beliau telah menerangkan perkara yang mungkin dianggap remeh oleh banyak orang seperti adab buang hajat.
Dalam sebuah hadits Rasulullah n bersabda:
مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِيْ سُلْطَانٍ فَلاَ يُبْدِهِ عَلاِنِيَةً وَلَكِنْ لِيَأْخُذْ بِيَدِهِ فَيَخْلُوْ بِهِ فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلاَّ كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِيْ عَلَيْهِ
“Barang siapa ingin menasihati seorang penguasa maka jangan ia tampakkan terang-terangan, akan tetapi hendaknya ia mengambil tangan penguasa tersebut dan menyendiri dengannya. Jika dengan itu, ia menerima (nasihat) darinya maka itulah (yang diinginkan, red.) dan jika tidak menerima maka ia (yang menasihati) telah melaksanakan kewajibannya.” (Sahih, HR. Ahmad, Ibnu Abu ‘Ashim dan yang lain, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani dalam Zhilalul Jannah, no. 1096—1098, lihat pula takhrijnya dalam kitab Mu’amalatul Hukkam, hlm. 143—151)
Ketika membawakan hadits di atas, al-Imam Ahmad t menyebutkan sebuah kisah. Kata beliau, seorang sahabat Nabi  n bernama ‘Iyadh bin Ghunm z yang menjadi penguasa di wilayah Syam (Siyar A’lamin Nubala, 2/354) mencambuk seorang pemilik rumah ketika rumah itu dibuka (karena masalah kharaj [semacam pajak], wallahu a’lam, red.). Maka seorang sahabat yang lain yaitu Hisyam bin Hakim z lewat dan menasihati dengan begitu keras kepadanya sehingga ‘Iyadh pun marah. Berlalulah beberapa malam. Lalu Hisyam datang dan beralasan seraya mengatakan kepada ‘Iyadh, “Tidakkah engkau mendengar Nabi n mengatakan, ‘Sesungguhnya manusia yang termasuk paling keras azabnya adalah yang paling keras menyiksa manusia di dunia’.”
Maka ‘Iyadh pun menjawab, “Wahai Hisyam bin Hakim, kami telah mendengar apa yang engkau dengar dan telah melihat apa yang kamu lihat. Apakah kamu tidak mendengar Rasulullah n bersabda, … (lalu menyebut hadits di atas). Sesungguhnya engkau wahai Hisyam, benar-benar nekat jika engkau berani terhadap penguasa Allah l. Tidakkah engkau takut untuk dibunuh oleh penguasa Allah l sehingga engkau menjadi korban pembunuhan penguasa Allah l?!”
Dalam kisah yang berlangsung antara dua orang sahabat Nabi yang mulia itu terkandung bantahan yang sangat telak bagi orang yang berdalil dengan perbuatan Hisyam bin Hakim z yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan atau berdalil dengan sahabat lain, di mana sahabat ‘Iyadh mengingkari perbuatan itu atas mereka lalu menyebutkan dalil yang menjadi pemutus dalam masalah ini, maka tiadalah bagi Hisyam kecuali menerima dalil itu yang sangat jelas maksudnya. Dan hujjah itu adalah hadits Nabi n, bukan ucapan siapa pun dari kalangan manusia. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 151—152)
Atas dasar hadits itu berarti penguasa mempunyai perlakuan khusus ketika diingkari kemungkarannya atau diberi nasihat. Sehingga salah bila dikatakan: “Adapun tuntutan syari’ah dalam menentang kemungkaran yang ada pada pemerintah itu adalah sebagaimana tuntunan dalam mencegah kemungkaran pada umumnya.” (Majalah Salafy edisi 02 tahun V)
Di atas manhaj ini pula para sahabat berjalan sebagaimana tampak dari ucapan dan perbuatan mereka. Di antaranya:
1.    Bahwa Sa’id bin Jahman bertemu dengan Abdullah bin Abu Aufa z (seorang sahabat Nabi n). Abdullah bin Abu Aufa pun bertanya, “Siapa engkau?” Aku pun menjawab, “Aku adalah Sa’id bin Jahman.” Beliau bertanya, “Apa yang terjadi pada ayahmu?” Jawabnya, “Ia dibunuh oleh al-Azariqah (sempalan kelompok Khawarij pimpinan Nafi’ Ibnul Azraq).” Maka beliau berkata, “Semoga Allah l melaknati al-Azariqah. Semoga Allah l melaknati al-Azariqah, semoga Allah melaknati al-Azariqah. Rasulullah n mengatakan kepada kami bahwa mereka adalah anjing-anjing ahli neraka.” Sa’id mengatakan, “Al-Azariqah saja atau Khawarij seluruhnya?” Beliau menjawab, “Bahkan Khawarij seluruhnya.” Sa’id mengatakan, “Sesungguhnya penguasa melakukan kezaliman terhadap manusia dan melakukan (kejahatan, red.) terhadap manusia.” Maka dia mengambil tangan saya dan dicoleknya dengan kuat lalu mengatakan, “Kasihan kamu wahai putra Jahman. Ikuti as-Sawadul A’zham, ikuti as-Sawadul A’zham (kaum muslimin dan penguasanya yang muslim). Jika penguasa mau mendengar nasihatmu maka datangi rumahnya, kabarkan kepadanya apa yang kamu ketahui. Kalau dia menerimamu (maka itu yang diinginkan, red.). Jika tidak, maka tinggalkan dia. Sesungguhnya kamu tidak lebih tahu darinya.” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad, 4/382—383, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya hasan”, Zhilalul Jannah, 2/508)
2.    Ibnu ‘Abbas c ditanya tentang amar ma’ruf dan nahi mungkar terhadap penguasa, maka beliau menjawab, “Jika kamu mesti melakukannya, hendaknya (dilakukan) antara kamu dan dia (secara sembunyi).” (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum di akhir syarah hadits ketujuh. Riwayat tersebut disebutkan oleh Ibnu Abu Syaibah dalam al-Mushannaf, lihat Mu’amatul Hukkam, hlm. 160)
3.    Bahwa Usamah bin Zaid c ditanya, “Tidakkah engkau masuk dan mendatangi ‘Utsman agar kamu memberikan nasihat kepadanya?” Jawab Usamah bin Zaid c, “Apakah kalian berpendapat bahwa aku tidak menasihatinya kecuali aku harus mengabarkan kepada kalian?! Demi Allah, aku telah menasihatinya antara aku dan dia, tanpa aku membuka urusan yang aku tidak suka menjadi orang pertama yang membukanya.” (Sahih, HR. Muslim)
Asy-Syaikh al-Albani t mengatakan, “Maksudnya membuka (mengekspos) pengingkaran secara terang-terangan kepada para penguasa di hadapan umum. Karena dalam pengingkaran secara terang-terangan mengandung sesuatu yang dikhawatirkan dampaknya, sebagaimana terjadi pengingkaran tersebut terang-terangan terhadap ‘Utsman lalu mengakibatkan terbunuhnya …” (dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 159)
Masih banyak lagi riwayat yang lain bisa dibaca dalam kitab Mu’amatul Hukkam karya asy-Syaikh Abdussalam Barjas.
Sikap yang ditunjukkan oleh para sahabat itu kemudian diwarisi oleh para ulama Ahlus Sunnah sebagaimana tertera dalam kitab-kitab mereka, baik mereka menyebut secara langsung maupun dengan menukilkan ucapan ulama yang lain, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abu ‘Ashim, ‘Iyadh, Ibnu Nahas, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, asy-Syaukani dalam kitabnya as-Sailul Jarrar, asy-Syaikh al-Albani, asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan lain-lain (lihat nukilan-nukilan ucapan mereka dalam kitab al-Wardul Maqthuf hlm. 69—75).
Sehingga, seorang penasihat, mubaligh, atau da’i hendaknya menelusuri jalan ini dan menujukan nasihatnya kepada dua arah. Arah pertama ditujukan kepada penguasa dengan cara yang telah disebutkan di atas, bisa dengan bicara secara langsung, melalui surat, atau memberi nasihat melalui orang-orang dekatnya untuk disampaikan kepada penguasa dengan memerhatikan rambu-rambu di atas. Arah kedua, ia menujukan nasihat kepada rakyat.
Hendaknya para da’i menerangkan kepada rakyat cara bersikap yang benar terhadap penguasa, memberikan pengertian tentang kemungkaran-kemungkaran yang bersifat umum seperti haramnya khamr, judi, pelacuran, loyal kepada orang kafir, permusuhan mereka terhadap Islam, dan semacamnya. (Lihat al-Wardul Maqthuf, hlm. 74 dan 70, dari nukilan Fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz)
Jika seseorang membolehkan mengritik penguasa di depan umum baik melalui lisan maupun tulisan dengan alasan sebagian sahabat Nabi n melakukannya, maka untuk menanggapi pendapat tersebut saya kemukakan beberapa hal.
1.    Telah dijelaskan bahwa hadits dalam permasalahan ini memiliki derajat sahih, maka tidak ada alasan bagi siapa pun untuk menyelisihinya. Orang yang menghargai hadits Nabi n tentu akan sangat menerima prinsip ini. Karena Allah l berfirman:
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (an-Nur: 63)
“Dan tidaklah patut bagi seorang mukmin atau mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (al-Ahzab: 36)
Al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Kaum muslimin berijma’ bahwa barang siapa yang telah terang baginya Sunnah Nabi n maka tidak boleh ia menolaknya karena mengikuti ucapan seseorang, siapa pun dia.” (Shifat Shalat an-Nabi oleh al-Albani, hlm. 50)
Ibnu ‘Abbas c mengatakan, “Hampir-hampir bebatuan dari langit akan menghujani kalian, karena aku katakan kepada kalian bahwa Rasulullah n bersabda demikian, lalu kalian mengatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar mengatakan demikian!!” (Riwayat Ahmad dalam al-Musnad, lihat Fathul Majid dengan tahqiq al-Furayyan, hlm. 451)
2.    Kemungkinan sahabat yang melakukan kritikan terhadap penguasa di depan umum disebabkan belum tahu atau lupa, seperti kejadian dalam hadits di atas bahwa Hisyam bin Hakim z diingatkan atau diberi tahu tentang hadits tersebut, lalu menerimanya. Atau ada udzur-udzur lain sebagaimana disebut oleh Ibnu Taimiyah t dalam kitabnya Raf’ul Malam ‘anil Aimmatil A’lam. Semua itu dalam rangka berbaik sangka terhadap para sahabat.
3.    Seandainya pun hadits itu (tentang tata cara menasihati penguasa dengan diam-diam) lemah—dan sesungguhnya tidak lemah—maka di hadapan kita ada dua sisi.
Sisi pertama, ucapan para sahabat yang jelas melarang perbuatan tersebut sebagaimana telah dinukilkan sebagiannya dari Abdullah bin Abu Aufa, Usamah bin Zaid, dan Ibnu ‘Abbas g, ditambah lagi dengan perbuatan dan praktik mereka. Sisi kedua, ucapan sebagian sahabat yang tidak jelas membolehkan hal itu, yang demikian tidak tegas dalam menentukan hukum karena membawa kemungkinan-kemungkinan sebagaimana dalam poin kedua di atas. Lain halnya dengan ucapan para sahabat yang tegas dan jelas melarang hal itu, yang memang sedang berbicara masalah hukum.
4.    Sebagaimana masalah-masalah fiqih yang lain, tatkala kita menghadapi perbedaan pendapat dari kalangan sahabat, kita tidak boleh mengambil salah satunya tanpa alasan atau tanpa pendukung. Bahkan kita harus mengambil pendapat yang terdekat kepada kebenaran melalui pertimbangan-pertimbangan lain.
5.    Atas dasar poin keempat maka yang tampak bagi saya, pendapat yang melarang itulah yang semestinya diambil, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan berikut ini:
-    Kaidah saddu adz-dzara’i’, yakni menutup jalan-jalan yang menyampaikan kepada hal yang haram. Sebagaimana diketahui, dalam syariat ini ada hal-hal yang diharamkan karena hal tersebut menjadi wasilah atau sarana kepada sesuatu yang diharamkan (Muharram Bidzatihi, dengar kaset Silsilatul Huda Wannur no. 41/1, al-Albani, lihat juga Ighatsatul Lahfan tentang penjelasan saddu adz-dzara’i’). Dengan melihat kaidah ini dan kenyataan yang ada, bahwa seringkali seseorang yang berbicara terhadap penguasa terjatuh dalam hal-hal yang dilarang, karena yang masuk dalam kancah ini banyak dari kalangan orang-orang yang tidak mengerti hukum.
-    Banyak ulama Ahlus Sunnah menjadikan hal ini sebagai pendapat mereka, bahkan dengan jelas mereka mengatakan bahwa inilah manhaj (jalan) Ahlus Sunnah, sebagaimana telah kita sebut sebagian nama-nama mereka di atas.
-    Pengingkaran para ulama sejak para sahabat terhadap orang yang mengingkari penguasa dengan terang-terangan. (Lihat Mu’amalatul Hukkam, hlm. 154)
-    Dengan melihat maslahat dan mafsadahnya, melarang masalah tersebut akan lebih banyak mendatangkan maslahat bagi penguasa dan rakyat. Sebaliknya, membolehkan hal itu akan banyak mendatangkan mafsadah. Di antaranya membuka pintu bagi orang-orang yang menyembunyikan niat/kepentingan jahat atau orang-orang yang bodoh terhadap hukum.
-    Dengan dibolehkan menyebutkan kejelekan penguasa di depan umum akan terjadi kesamaran antara seorang Ahlus Sunnah dengan seorang yang berpemahaman Khawarij.
-    Atas dasar itu, maka tidak ada alasan bagi kita untuk mengingkari seorang yang mengingkari penguasa secara terang-terangan, sama saja baik dia itu seorang Ahlus Sunnah maupun Khawarij, di mana yang membedakan mereka berdua adalah tujuannya. Yaitu Khawarij melakukannya dalam rangka ambisi merebut kekuasaan… Sedang Ahlus Sunnah dalam rangka semata-mata amar ma’ruf dan nahi mungkar. (Majalah Salafy edisi 02 tahun V)
Hal ini karena tujuan adalah niat di dalam hati yang tidak tampak secara nyata, sedangkan yang tampak bahwa kedua orang tersebut melakukan hal yang sama. Tentu konsekuensi semacam ini menunjukkan batilnya pendapat itu, karena Khawarij pun meyakininya sebagai amar ma’ruf nahi mungkar, di samping juga bertentangan dengan perbuatan sahabat yang mengingkari Khawarij.
Al-Imam at-Tirmidzi t meriwayatkan dengan sanadnya kepada Ziyad bin Kusaib al-‘Adawi katanya, “Saya bersama sahabat Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu ‘Amir yang sedang berkhutbah dengan memakai pakaian yang tipis. Maka (seseorang bernama) Abu Bilal mengatakan, ‘Lihatlah kepada pemimpin kita, dia memakai pakaian orang fasiq.’ Maka Abu Bakrah pun menimpali, ‘Diamlah kamu. Aku mendengar Rasulullah n mengatakan, ‘Barang siapa yang menghinakan penguasa Allah l di muka bumi maka Allah l akan menghinakannya’.” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitabul Fitan”, 4/435 no. 2224 cet. Darul Kutub. At-Tirmidzi mengatakan, “Hasan Gharib”, Mu’amalatul Hukkam, hlm. 174—185, lihat pula al-Wardul Maqthuf, hlm. 58, tentang pengingkaran Ibnu ‘Abbas c terhadap Abu Jamrah)
Maka di hadapan kita ada dua kemungkinan, apakah sahabat tersebut salah dalam mengingkari orang tersebut atau benar? Bagi saya, dengan alasan apa kita menyalahkan sahabat tersebut? Sungguh sangat berat untuk menyalahkannya.
6.    Melihat kenyataan umum yang ada di masyarakat kita bahwa mereka yang melakukan pengingkaran terhadap para penguasa melakukan kesalahan-kesalahan sebagai berikut:
-    Menghinakan penguasa, dan perbuatan ini dilarang oleh Nabi n sebagaimana sabda Nabi n di atas. Namun bukan berarti yang dimaksud menghargai mereka adalah dengan mengagung-agungkan penguasa itu. Penguasa dihargai karena besarnya tugas yang diemban dan dengan dihinakannya mereka maka tugas yang menjadi kewajibannya tidak akan terlaksana dengan baik sehingga terjadi banyak kerusakan. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 177)
-    Melakukan celaan terhadap penguasa, dan ini juga dilarang oleh Nabi n. Anas bin Malik z mengatakan, “Para pembesar sahabat di antara kami melarang kami dengan perkataan mereka, ‘Jangan kalian cerca para pemimpin kalian, jangan berbuat curang terhadap mereka, dan jangan kalian membenci mereka. Bertakwalah kalian kepada Allah l dan bersabarlah!.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim, no.1015, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya jayyid.” [bagus, yakni sahih—wallahu a’lam])
-    Melakukan ghibah terhadap penguasa, dan ghibah hukumnya haram apalagi kepada penguasa tentu lebih haram karena mafsadahnya akan lebih besar.
-    Tidak menerangkan manhaj Ahlus Sunnah dalam menyikapi penguasa yang zalim yaitu sabar dalam menyikapi kezaliman penguasa dan menyerahkan masalah kepada Allah l. Mereka biasanya hanya menyebutkan sisi-sisi negatif penguasa.
-    Tidak memperingatkan dari haramnya memberontak kepada penguasa muslim baik dengan senjata maupun lisan. Bahkan dengan lisan lebih berbahaya karena bisa menyulut tindakan anarkis.
-    Tidak membantah kelompok Khawarij terutama ciri khas mereka yaitu suka memberontak terhadap penguasa.
-    Memprovokasi massa untuk membenci para pemimpin mereka dan ini jelas terlarang sebagaimana ucapan Anas bin Malik z di atas. Juga bertolak belakang dengan manhaj Ahlus Sunnah yaitu melunakkan hati masyarakat dan membimbing mereka supaya taat kepada para penguasa.
Al-Imam an-Nawawi t mengatakan, “Adapun menasihati para pemimpin kaum muslimin artinya membantu mereka dalam kebenaran, menaati mereka dalam kebenaran, dan memerintahkan mereka untuk itu, serta mengingatkan mereka dengan lemah lembut dan memberitahukan kepada mereka tentang hak-hak kaum muslimin yang mereka lalaikan dan belum menyampaikannya kepada kaum muslimin. Termasuk nasihat kepada mereka adalah tidak melakukan pemberontakan kepada mereka serta melunakkan hati manusia agar taat kepada mereka.” (Syarah Shahih Muslim, dinukil dalam al-Wardul Maqthuf, hlm. 72 dan lihat hlm. 74)
-    Tidak mendoakan kebaikan untuk penguasa. Yang dilakukan kebanyakan orang justru kebalikannya. Al-Imam al-Barbahari t mengatakan, “Jika kamu melihat seseorang mendoakan kejelekan terhadap penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah ahli bid’ah dan jika kamu melihat seseorang mendoakan kebaikan untuk penguasa maka ketahuilah bahwa dia adalah pengikut As-Sunnah, insya Allah.” Al-Fudhail bin ‘Iyadh t mengatakan, “Seandainya saya punya doa yang terkabul maka tidak akan saya berikan kecuali untuk penguasa.” (Syarhus Sunnah, dinukil dari al-Wardul Maqthuf, hlm. 54)
-    Tidak melihat sisi maslahat dan mafsadah yang diakibatkan dari perbuatannya yang seolah-olah hanya luapan emosi, sehingga mengakibatkan banyak korban sampai-sampai yang tidak tahu apa-apa juga terkena imbasnya.
-    Itu semua lepas dari apa yang tersembunyi dalam hati mereka dari niat dan keyakinan, namun Allah Mahatahu.
- Tidak ada satu pun ulama Ahlus Sunnah yang menganggap riwayat dari ‘Ali, Abu Sa’id al-Khudri, Asma’, dan Ibnu ‘Umar g sebagai manhaj yang tetap dan menganjurkan umat untuk mengingkari penguasa/pemerintah secara terang-terangan. Justru sebaliknya, mereka menganjurkan umat untuk sabar dan tidak menjamah penguasanya ketika zalim, dengan dalil riwayat dari para sahabat di atas. Bila riwayat-riwayat di atas tetap dipaksakan sebagai dalil tentang bolehnya membicarakan kemungkaran penguasa di depan umum, maka orang yang seperti ini persis seperti yang Allah l sebutkan dalam ayat:
“Sementara orang orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya.” (Ali ‘Imran: 7)
-    Tidak satu pun kitab-kitab ulama dalam pembahasan ushuluddin (pokok agama) yang melewatkan pembahasan ini, yaitu manhaj al-haq (adalah) bersabar dalam menyikapi kezaliman penguasa dan tidak membicarakan kejelekan mereka di depan umum.
7.    Melihat makna nasihat yaitu iradatul khair lilmanshuh lahu, yakni menginginkan kebaikan untuk yang dinasihati (Jami’ul Ulum wal Hikam, 1/207, tahqiq Thariq ‘Iwadhullah). Menasihati penguasa artinya menginginkan kebaikan baginya. Sedangkan dengan keterangan di atas tampaknya perbuatan mereka bukan termasuk nasihat sama sekali walaupun mereka sebut demikian. Oleh karena itu, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t mengatakan, “Sesungguhnya menyelisihi penguasa pada perkara yang bukan darurat dari masalah agama dengan terang-terangan dan mengingkarinya di forum-forum, masjid-masjid, media massa, mimbar-mimbar, dan sebagainya, bukan termasuk nasihat sama sekali. Maka jangan tertipu dengan siapa saja yang melakukan demikian walaupun niatnya baik, karena hal itu menyelisihi perbuatan as-salafush shalih yang menjadi teladan.” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 156)
Sebagai penutup, perhatikan baik-baik ucapan seorang tabi’in al-Hasan al-Bashri t dalam masalah pemerintah, “Mereka mengurusi lima urusan kita: (shalat) Jum’at, (shalat) jamaah, ‘Id (hari raya), perbatasan, dan hukum had. Demi Allah, agama ini tidak akan tegak kecuali dengan mereka, walaupun mereka itu zalim dan curang. Demi Allah, sungguh apa yang Allah l perbaiki dengan mereka lebih banyak dari apa yang mereka rusak…” (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 7—8)
Pembahasan ini bukanlah bertujuan untuk membela kezaliman penguasa atau karena ketidaktahuan atas kezaliman mereka, namun untuk membela syariat Allah l dalam masalah ini.
Wallahu a’lam.

Menyikapi Penguasa Yang Kejam

atatan sejarah membuktikan, setiap pemberontakan yang tidak dibimbing oleh ilmu syar’i selalu melahirkan kerusakan dan berakhir dengan kekacauan yang lebih besar daripada kezaliman penguasa itu sendiri. Maka, sikap sabar sebagaimana diamanatkan Rasulullah n dan para sahabatnya, mesti kita miliki ketika kita dihadapkan kepada pemerintahan yang zalim.

Sabar terhadap kezaliman penguasa adalah salah satu prinsip dari prinsip-prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah. (Majmu’ Fatawa, 28/179, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 163)
Itulah salah satu ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t yang terlupakan atau tidak diketahui oleh kaum muslimin yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah. Hampir seluruh kelompok pergerakan yang muncul di abad ini atau sebelumnya melalaikan prinsip ini. Entah karena lupa, tidak tahu, atau karena sengaja.
Barangkali akan ada yang mengatakan, “Penguasa sekarang lain dengan penguasa dahulu!”
Untuk menjawab pernyataan itu, seorang ulama bernama Abul Walid ath-Thartusi t berkata, “Jika kamu berkata bahwa raja-raja (penguasa) di masa ini tidak seperti raja-raja di masa lalu, maka (dijawab) bahwa rakyat sekarang pun tidak seperti rakyat di masa lalu. Kamu tidak lebih berhak mencela penguasamu ketika kamu menengok (membandingkan dengan) penguasa dahulu daripada penguasamu mencela kamu ketika dia menengok rakyat yang hidup di masa lalu. Maka jika penguasamu berbuat zalim terhadap kamu, hendaknya kamu bersabar dan dosanya ditanggung (penguasa itu).
Sejauh ini saya masih mendengar ucapan orang, ‘Amal-amal kalian adalah para penguasa kalian,’ ‘Sebagaimana kalian, maka seperti itulah penguasa kalian,’ sampai pada akhirnya saya mendapatkan makna semacam itu dalam Al-Qur’an (ketika) Allah l berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menguasai sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (al-An’am: 129)
Dahulu juga dikatakan, ‘Apa yang kamu ingkari pada masamu adalah karena dirusak oleh amalmu’.”
Abdul Malik bin Marwan juga mengatakan, “Berbuat adillah kalian, wahai rakyat! Kalian menginginkan kami untuk berjalan dengan perihidup Abu Bakr dan ‘Umar, padahal kalian tidak berbuat demikian terhadap kami dan pada diri kalian.” (Sirajul Muluk, hlm. 100—101, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 165—166)
Inilah hakikat yang perlu diketahui dan selalu diingat, bahwa munculnya penguasa jahat adalah karena amal kita yang jahat juga, seperti perbuatan maksiat, bid’ah, khurafat, dan perbuatan syirik kepada Allah l. Camkan ini wahai para tokoh pergerakan!
Sikap kalian dengan memberontak, mencaci-maki, merendahkan, atau bahkan mengafirkan para penguasa justru membuat penguasa semakin bengis. Bukan hanya kepada kalian, namun juga kepada orang-orang yang tidak berdosa. Inilah akibat dari amalan bid’ah yang bertentangan dengan prinsip Ahlus Sunnah.
Jangan kalian sangka bahwa dengan perbuatan itu kalian sedang berjihad dan menegakkan Islam. Namun sebaliknya, kalian sungguh sedang menggerogoti Sunnah Nabi  n untuk meruntuhkan salah satu penyangga ajaran Islam.
Sikap yang benar untuk menyudahi kezaliman penguasa adalah dengan memperbaiki amal kita baik dari sisi akidah, metode dakwah, ibadah, maupun akhlak serta mengikuti ajaran Rasulullah n dalam menghadapi penguasa.
Al-Hasan al-Bashri t mengatakan, “Ketahuilah—semoga Allah l memberimu ‘afiyah (keselamatan)—bahwa kezaliman para raja merupakan azab dari Allah l. Dan azab Allah l itu tidak dihadapi dengan pedang, akan tetapi dihindari dengan doa, taubat, kembali kepada Allah l, serta mencabut segala dosa. Sungguh azab Allah l jika dihadapi dengan pedang maka ia lebih bisa memotong.” (asy-Syari’ah karya al-Imam al-Ajurri t, hlm. 38, dinukil dari Fiqih Siyasah Syar’iyyah, hlm. 166—167).
Perlu pula diketahui bahwa munculnya penguasa-penguasa yang jahat bukan satu hal yang baru. Dalam sejarah Islam tercatat sejak masa para sahabat masih hidup telah muncul seorang pemimpin yang luar biasa bengisnya melebihi para penguasa di masa ini. Bahkan penguasa itu sampai mendapat julukan resmi dari Rasulullah n sebagai al-Mubir (pembinasa). Penguasa tersebut adalah al-Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.
Bukan hanya ulama yang ia bunuh, bahkan sebagian sahabat pun ia bunuh. Jumlahnya pun bukan sekadar ratusan, namun mencapai ribuan. Ibnu Hajar t menukilkan riwayat dari Hisyam bin Hassan bahwa ia mengatakan, “Kami menghitung orang yang dibunuh Hajjaj dengan cara shabran (dibunuh dengan cara tidak diberi makan dan minum) mencapai 120.000 jiwa.” (Tahdzibut Tahdzib, 2/211)
Jumlah tersebut belum termasuk orang-orang yang dibunuh dengan cara lainnya. Dalam sejarah selalu ada orang semacam ini. Sesungguhnya Nabi n pun telah mengabarkan akan adanya para penguasa semacam itu melalui sabda-sabda beliau berikut ini:
يَكُوْنُ بَعْدِيْ أَئِمَّةٌ لاَ يَهْتَدُوْنَ بِهُدَايَ وَلاَ يَسْتَنُّوْنَ بِسُنَّتِي وَسَيَقُوْمُ فِيْهِمْ رِجَالٌ قُلُوْبُهُمْ قُلُوْبُ الشَّيَاطِيْنِ فِي جُثْمَانِ إِنْسٍ. (قَالَ حُذَيْفَةُ): كَيْفَ أَصْنَعُ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنْ أَدْرَكْتُ ذَلِكَ؟ قَالَ: تَسْمَعُ وَتُطِيْعُ لِلْأَمِيْرِ وَإِنْ ضُرِبَ ظَهْرُكَ وَأُخِذَ مَالُكَ
“Akan datang setelahku para pemimpin yang tidak mengikuti petunjukku, tidak menjalani sunnahku, dan akan berada pada mereka orang-orang yang hati mereka adalah hati-hati setan yang berada dalam jasad manusia.” (Hudzaifah berkata), “Wahai Rasulullah, apa yang aku perbuat jika aku menemui mereka?” Beliau menjawab, “Engkau dengar dan engkau taati walaupun punggungmu dicambuk dan hartamu diambil.” (Sahih, HR. Muslim)
إِنَّهَا سَتَكُوْنُ بَعْدِيْ أَثَرَةٌ وَأُمُوْرٌ تُنْكِرُوْنَهَا. قَالُوا: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَمَا تَاْمُرُنَا؟ قَالَ: تُؤَدُّوْنَ الْحَقَّ الَّذِيْ عَلَيْكُمْ وَتَسْأَلُوْنَ اللهَ الَّذِيْ لَكُمْ
“Sesungguhnya akan terjadi setelahku para pemimpin yang mementingkan diri mereka (tidak memberikan hak kepada orang yang berhak) dan perkara-perkara yang kalian ingkari.” Mereka mengatakan, “Wahai Rasullullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab, “Berikan hak mereka yang menjadi kewajiban kalian dan mintalah kepada Allah hak kalian.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim)
Salamah bin Yazid al-Ju’fi z berkata kepada Rasulullah n:
يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَرَأَيْتَ إِنْ قَامَتْ عَلَيْنَا أُمَرَاءُ يَسْأَلُوْنَا حَقَّهُمْ وَيَمْنَعُوْنَ حَقَّنَا فَمَا تَأْمُرُنَا؟ … قَالَ: اسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِمْ مَا حُمِّلُوْا وَعَلَيْكُمْ مَا حُمِّلْتُمْ
“Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika pemimpin kami adalah pemimpin yang meminta kepada kami hak mereka dan tidak memberikan kepada kami hak kami?”… Beliau menjawab, “Dengar dan taati, sesungguhnya kewajiban mereka apa yang dibebankan kepada mereka dan kewajiban kalian apa yang dibebankan kepada kalian.” (Sahih, HR. Muslim)
Maknanya bahwa Allah l mewajibkan dan membebani para penguasa untuk berlaku adil di antara manusia. Jika tidak mereka lakukan, mereka berdosa. Dan Allah l wajibkan rakyat untuk mendengar dan taat kepada penguasa. Jika mereka melakukannya, mendapat pahala; dan jika tidak, berdosa. (Mu’amalatul Hukkam, hlm. 119)
شِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ؟ فَقَالَ: لاَ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ، وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلاَتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُوْنَهُ فَاكْرَهُوْا عَمَلَهُ وَلاَ تَنْزِعُوْا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ
“Sejelek-jelek pemimpin kalian adalah yang kalian membencinya dan membenci kalian, yang kalian melaknatinya dan melaknati kalian.” Dikatakan kepada beliau, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita melawannya dengan pedang?” Beliau mengatakan, “Jangan, selama ia mendirikan shalat (di antara) kalian dan jika kalian melihat pada pemimpin kalian sesuatu yang kalian benci maka bencilah amalnya dan jangan kalian cabut tangan kalian dari ketaatan.” (Sahih, HR. Muslim)
Beliau ditanya tentang para penguasa oleh ‘Adi bin Hatim z:
قُلْنَا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، لاَ نَسْأَلُكَ عَنْ طَاعَةِ مَنِ اتَّقَى وَلَكِنْ مَنْ فَعَلَ وَفَعَلَ –فَذَكَرَ الشَّرَّ- فَقَالَ: اتَّقُوا اللهَ وَاسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا
Kami katakan, “Wahai Rasulullah, kami tidak bertanya kepadamu tentang taat kepada orang yang bertakwa, akan tetapi tentang orang yang melakukan demikian dan demikian”—ia menyebutkan kejelekan-kejelekan. Maka Nabi n menjawab, “Bertakwalah kepada Allah, dengarkan dan taati (penguasa itu).” (HR. Ibnu Abu ‘Ashim, asy-Syaikh al-Albani t mengatakan, “Hadits yang sahih”, dinukil dari Mu’amalatul Hukkam, hlm. 124)
Itulah penjelasan Rasulullah n yang terbukti kebenarannya. Dengan ilmu yang Rasulullah n miliki itu, beliau tetap memerintahkan untuk sabar, taat, menunaikan hak, dan sebagainya, sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas. Itulah jalan terbaik dan tidak ada yang lebih baik selain itu.
Menyikapi penguasa yang zalim jangan hanya didasari oleh emosi atau alasan ghirah (kecemburuan) keagamaan tanpa mengikuti ajaran Nabi n. Karena bagaimanapun, kita tidak lebih cemburu dan tidak lebih panas ketika melihat maksiat dibanding Nabi n dan para sahabatnya.
Nabi n bersabda, “Apakah kalian heran dari cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu darinya dan Allah lebih cemburu dariku. Oleh karena itu, Allah haramkan hal-hal yang keji, baik yang tampak maupun yang tidak.” (Muttafaqun ‘alaihi, dari sahabat Sa’d bin ‘Ubadah z)
Ketika Abu Dzar z keluar ke daerah Rabadzah karena menuruti perintah Khalifah ‘Utsman z disebabkan ia memiliki sebuah permasalahan dengan seseorang, ia berjumpa dengan serombongan orang Iraq yang mengatakan, “Wahai Abu Dzar, sungguh telah sampai kepada kami perlakuan yang menimpamu. Maka tegakkanlah bendera (maksudnya ajakan untuk memberontak), niscaya akan datang kepadamu orang-orang dari mana saja kamu mau.” Maka beliau menjawab, “Pelan-pelan wahai kaum muslimin. Sungguh saya mendengar Rasulullah n bersabda, ‘Akan datang setelahku para penguasa maka muliakanlah dia. Barang siapa yang menghinakannya berarti ia telah membuat satu lubang dalam Islam dan tidak akan diterima taubat darinya sampai ia mengembalikannya seperti sebelumnya’.” (Riwayat Ibnu Abu ‘Ashim dalam as-Sunnah no. 1079, asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Sanadnya sahih.”)
Wallahu a’lam.

Kisah Bai’at Aqobah

Beberapa orang suku Khazraj dari Madinah ketika melakukan ibadah haji akhirnya bersedia menerima dakwah Rasulullah n. Sebelumnya, mereka telah mendengar dari orang-orang Yahudi bahwa akan datang seorang nabi. Ketika nabi itu benar-benar datang, mereka pun beriman kepadanya, sementara orang-orang Yahudi malah mengkufurinya.

Siang dan malam, Rasulullah n tidak pernah berhenti berdakwah. Setiap musim haji, beliau selalu mendatangi kabilah-kabilah dari luar Kota Makkah untuk mendakwahkan Islam. Namun tak satu pun yang menyambut seruan beliau.
Namun Allah l memang ingin menampakkan dan memenangkan al-haq ini. Suatu ketika, di musim haji, datanglah beberapa orang dari suku Khazraj Madinah, yaitu Abu Umamah As’ad bin Zurarah, ‘Auf bin al-Harits, Rafi’ bin Malik, Quthbah bin ‘Amir, ‘Uqbah bin ‘Amir, dan Jabir bin Abdullah bin Ri’ab.
Rasulullah n pun menemui mereka, menerangkan ajaran Islam dan membacakan beberapa ayat Al-Qur’an. Sebelum ini, para pemuka suku tersebut sebenarnya telah sering mendengar berita dari orang-orang Yahudi, sekutu mereka, bahwa akan datang seorang nabi yang dengannya mereka memerangi orang-orang kafir seperti memerangi ‘Aad dan Iram.
Pada tahun berikutnya, datanglah 12 orang, termasuk enam orang pertama selain Jabir. Bersama rombongan ini, ikut serta Mu’adz bin al-Harits bin Rifa’ah saudara ‘Auf, juga ‘Ubadah bin ash-Shamit, Yazid bin Tsa’labah, Abul Haitsam bin at-Taihan, ‘Uwaimir bin Malik, dan Dzakwan bin ‘Abdul Qais.
Tentang peristiwa ini Jabir zmenceritakan, “Ketika Rasulullah n masih di Makkah dan mengajak manusia kepada Islam, beliau mendatangi mereka di setiap musim haji, di pasar ‘Ukkaz, Majannah, sambil berkata, ‘Siapakah yang akan membantuku menyebarkan risalah Rabbku ini? Bagiannya adalah jannah (surga).’ Namun, tidak ada yang mau menyambut seruan itu. Sampai akhirnya Allah l mengirim kami kepada beliau, dan bertemu di ‘Aqabah. Ketika itu beliau bersama ‘Abbas pamannya.
Kami berkata kepada beliau, ‘Ya Rasulullah, atas dasar apa kami bersumpah setia (bai’at) kepadamu?’ Kata beliau, ‘Kalian berbai’at untuk tetap mendengar dan taat, baik di waktu semangat maupun berat, dalam keadaan lapang maupun sempit (susah), menolongku kalau aku datang kepada kalian dan membelaku seperti kalian membela anak, istri, dan diri kalian sendiri, serta kalian akan mendapat balasan surga.’
Kami pun segera membai’atnya. Yang pertama menggenggam tangan beliau adalah As’ad bin Zurarah padahal dia adalah yang paling muda di antara kami, dan dia berkata, ‘Tunggu dulu, wahai orang-orang Yatsrib (Madinah). Kita tidak melakukan perjalanan ini melainkan kita tahu betul bahwa dia adalah Rasulullah. Membawanya keluar (dari Makkah, red.) pada hari ini berarti menghadapi bangsa Arab seluruhnya dan sebab terbunuhnya orang-orang terbaik dari kalian, serta siap menghadapi peperangan. Kalau kalian sabar terhadap hal ini, ambil sumpah setia ini, dan balasan bagi kalian di sisi Allah l. Kalau kalian takut dan mengkhawatirkan diri kalian, maka tinggalkan dia. Ini adalah udzur bagi kalian di sisi Allah l.’ Serempak yang lain berkata, ‘Wahai As’ad, lepaskan tanganmu. Demi Allah, kami tidak akan biarkan bai’at ini berlalu begitu saja dan kami tidak membencinya.’
Kemudian satu per satu dari kami berdiri menggenggam tangan beliau mengucapkan bai’at, lantas beliau memberi syarat, dan menjanjikan surga bagi kami.”
Setelah itu mereka kembali ke Madinah. Rasulullah n mengutus Ibnu Ummi Maktum dan Mush’ab bin ‘Umair c untuk berdakwah di Madinah. Akhirnya, Islam tersebar menembus pintu-pintu setiap rumah di Madinah. Melalui dakwahnya, berimanlah beberapa tokoh seperti Usaid bin Hudhair, Sa’d bin Mu’adz, yang kemudian diikuti seluruh suku Bani Abdil Asyhal, laki-laki dan perempuan, kecuali ‘Amru bin Tsabit bin Qais yang baru masuk Islam ketika terjadi perang Uhud dan dia gugur sebagai syuhada sebelum sempat sujud satu kali pun. Tentang dia, Rasulullah n bersabda:
عَمِلَ قَلِيْلاً، وَأُجِرَ كَثِيْرًا
“Dia beramal sedikit, tapi diberi pahala berlimpah.” (HR. al-Bukhari dan Muslim, dari al-Bara’ z)
Kemudian Mush’ab z kembali ke Makkah. Pada musim haji berikutnya, datanglah menemui Rasulullah n sekitar 73 orang laki-laki dan dua orang perempuan dari Madinah di bawah pimpinan al-Bara’ bin Ma’rur. Mereka berbai’at kepada Rasulullah n sebagaimana halnya yang dikisahkan Jabir z. Setelah itu, Rasulullah n memerintahkan agar mereka segera kembali ke kemah-kemah mereka.
Keesokan harinya, orang-orang kafir Quraisy mendatangi mereka dan menanyakan apa yang telah dilakukan mereka semalam. Termasuk mencari kebenaran berita bahwa orang-orang Madinah itu akan memerangi mereka. Abdullah bin Ubai bin Salul yang ketika itu ikut bersama rombongan dari Madinah menampik dan menegaskan ketidakbenaran berita tersebut.

Sekilas tentang Aus dan Khazraj
Ibnu Hisyam menukilkan dari keterangan Hassan bin Tsabit z bahwa orang-orang Anshar (penduduk Madinah) adalah keturunan Aus dan Khazraj, yang keduanya adalah anak dari Haritsah bin Tsa’labah bin ‘Amru.
Kedua kabilah ini sesungguhnya pada masa jahiliah selalu bermusuhan dan saling memerangi. Masing-masing dibantu oleh sekutu-sekutu mereka dari golongan Yahudi. Setiap kali mereka berperang, masing-masing dari Yahudi tersebut mengancam, bahwa telah tiba masanya akan datang seorang nabi, dan mengatakan, “Kami akan memerangi kalian bersamanya seperti memerangi ‘Ad dan Iram.”
Setelah Allah l mengutus Nabi Muhammad n, orang-orang Anshar segera menyambut seruan tersebut, sementara Yahudi justru mengingkarinya. Tentang hal ini Allah l menyebutkan:
“Dan tatkala telah datang kepada mereka sebuah kitab dari sisi Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Padahal mereka sebelumnya senantiasa mengharap-harap kemenangan atas orang-orang kafir. Tapi setelah datang kepada mereka sesuatu yang telah mereka ketahui, mereka mengingkarinya, maka laknat Allah terhadap orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 89)
Ibnu Ishaq mengatakan, “Telah bercerita kepada kami ‘Ashim bin ‘Amr bin Qatadah dari beberapa orang tokoh dari kaumnya. Mereka berkata, ‘Sesungguhnya beberapa faktor yang mendorong kami masuk Islam—dengan rahmat dan hidayah Allah l—tatkala kami mendengar dari beberapa orang Yahudi—sedangkan kami waktu itu masih musyrik penyembah berhala—mereka mempunyai ilmu yang tidak ada pada kami. Antara kami dengan mereka sering terjadi permusuhan. Apabila kami mencaci-maki mereka dengan sesuatu yang tidak disukai mereka, mereka berkata, ‘Sungguh hampir tiba masanya sekarang ini, akan diutusnya seorang nabi. Kami akan memerangi kalian bersamanya seperti memerangi bangsa ‘Aad dan Iram.’
Inilah yang selalu kami dengar dari mulut mereka. Namun tatkala Allah l telah mengutus Rasulullah n, kami segera menyambut seruan beliau ketika mengajak kami untuk beriman kepada Allah l, apalagi setelah kami tahu ancaman mereka itu. Maka kami mendahului mereka beriman kepada beliau, sedangkan mereka justru mengingkarinya. Dan ayat ini turun berkaitan dengan keadaan kami dan mereka.”

Hikmah Dakwah Nabi Ibrahim

Dalam berdakwah menghadapi kaumnya, Nabi Ibrahim q banyak melakukan dialog yang penuh dengan hikmah dan hujjah, yang bila hati seseorang masih bersih niscaya akan menerima dakwah beliau. Namun mereka tetap pada kekafirannya, termasuk ayah Nabi Ibrahim q sendiri.

Allah l telah menyebutkan dalam Al-Qur’an berbagai berita dan sejarah Nabi Ibrahim q. Dalam kisah itu terdapat teladan bagi kita terhadap para nabi secara umum, khususnya Nabi Ibrahim q. Karena sesungguhnya Allah  l telah memerintahkan Nabi kita dan kita semua untuk mengikuti millah (agama) Ibrahim. Yang dimaksud adalah akidah atau keyakinan, akhlak dan amalan beliau.
Allah l telah menganugerahkan hidayah kepada Nabi Ibrahim q dan mengajarkannya hikmah sejak masih kecil. Allah l perlihatkan kepada beliau kekuasaan Allah l di langit dan bumi. Karena inilah beliau menjadi manusia yang paling kuat keyakinan dan ilmunya dalam agama serta paling besar kasih sayangnya kepada sesama hamba Allah l.
Allah l utus Nabi Ibrahim q ke tengah-tengah kaum musyrikin yang menyembah matahari, bulan, dan bintang. Mereka adalah ahli-ahli filsafat Shabi’ah yang merupakan golongan yang paling keji dan paling besar bahayanya terhadap hamba Allah l. Nabi Ibrahim q telah berusaha mengajak mereka dengan berbagai cara.
Mula-mula beliau mengajak mereka dengan cara yang semestinya tidak mungkin seorang yang berakal akan lari dari dakwah beliau. Maka tatkala mereka seperti biasa menyembah tujuh bintang yang beredar yang termasuk di antaranya adalah matahari dan bulan, bahkan mereka membangun berbagai kuil untuk beribadah kepada benda-benda angkasa ini. Beliau mengajak mereka berpikir dan merenungkan perbuatan mereka, ”Kemarilah, wahai kaumku. Kita lihat apakah benda-benda angkasa ini memang pantas mempunyai sifat-sifat ilahiyyah (sebagai sesembahan) dan sifat-sifat rububiyyah (sebagai pengatur atau pencipta dan penguasa):
“Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata, ‘Inilah Rabbku’.” (al-An’am: 76)
Keadaan dalam sebuah diskusi atau dialog ilmiah berbeda dengan keadaan lain yang biasa. Artinya, bahwasanya seorang yang berbicara pada sebuah diskusi kadang mengatakan sesuatu yang bukan merupakan keyakinannya, tapi hanya bermaksud membangun suatu argumentasi bagi pernyataan yang akan dilontarkannya untuk membantah pendapat lawan diskusinya. Sebagaimana yang beliau lakukan setelah menghancurkan patung-patung yang disembah oleh kaumnya, mereka bekata kepadanya:
“Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kami, wahai Ibrahim?” (al-Anbiya: 62)
Maka beliau menunjuk kepada berhala yang tidak dihancurkan, dan berkata,
“Sebenarnya patung yang besar inilah yang melakukannya.” (al-Anbiya: 63)
Tentunya sangat jelas kita ketahui bahwa beliau hanya bermaksud menggiring mereka untuk menerima hujjah (argumentasi) beliau, dan berhasil.
Maka di sini, dengan mudah kita pahami maksud ucapan beliau dalam ayat tadi:
“Inilah Rabbku.” (al-An’am: 76)
Yakni, kalau dia memang berhak menyandang sifat-sifat ilahiyyah sesudah memerhatikan keadaan dan sifat-sifat benda tersebut, maka dialah Rabbku. Padahal tentu saja beliau sudah meyakini secara pasti bahwa sesungguhnya benda-benda itu sama sekali tidak berhak menyandang sifat rububiyyah dan ilahiyyah sedikit pun. Akan tetapi di sini beliau hanya ingin menggiring mereka untuk menerima hujjah beliau.
Firman Allah l:
“Tetapi tatkala bintang itu tenggelam.” (al-An’am: 76)
Yakni, hilang dari pandangan.
“Beliau berkata, ‘Saya tidak suka kepada yang tenggelam’.” (al-An’am: 76)
Karena sesungguhnya, sesuatu yang keadaannya kadang-kadang ada dan kadang tiada atau ghaib, jelas diketahui oleh mereka yang mempunyai akal bahwa sesuatu itu tidak sempurna, sehingga tidak pantas menjadi sesembahan (ilah). Kemudian perhatiannya beralih ke bulan. Ketika beliau melihat bulan itu muncul:
“Inilah Rabbku. Tetapi tatkala bulan itu pun terbenam dia berkata, ‘Sesungguhnya jika Rabbku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat’.” (al-An’am: 77)
Nabi Ibrahim q memperlihatkan kepada kaumnya dengan menggambarkan keadaan dirinya seakan-akan menyetujui keyakinan mereka, namun bukan berdasarkan taklid (mengikuti sesuatu tanpa dasar ilmiah). Bahkan beliau di sini bermaksud menunjukkan bukti nyata tentang (apakah pantas) bintang dan bulan ini menyandang sifat ilahiyyah. Nah, sekarang bulan itu telah tenggelam pula, maka jelaslah dengan dalil-dalil (bukti) secara ‘aqli (rasio) dan sam’i (dari firman Allah l) tentang batilnya sifat ilahiyyah dua benda angkasa tersebut. Seakan-akan beliau ingin mengatakan,”Bahwa sampai saat ini belum mantap keyakinan saya tentang Rabb dan Ilah Yang Mahabesar.”
“Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit…” (al-An’am: 78)
Yakni, ketika melihat munculnya matahari, Nabi Ibrahim q berkata, “Ini lebih besar dari bulan dan bintang. Maka kalau berlaku padanya seperti halnya kedua benda angkasa sebelumnya, berarti dia sama saja dengan keduanya.”
“Maka tatkala matahari itu pun terbenam…” (al-An’am: 78)
Telah jelas bagi semuanya tentang hal sebelumnya bahwasanya beribadah kepada sesuatu yang terbenam (mudah lenyap) adalah kebatilan yang paling batil. Maka saat itulah beliau menggiring mereka untuk menerima argumentasi (hujjah) dan menerangkannya kepada mereka:
“Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku hanya menghadapkan diriku…” (al-An’am: 78—79)
Yakni, lahir dan batinku.
“Kepada Rabb yang telah menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang lurus dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang musyrik.” (al-An’am: 79)
Demikianlah bukti logis yang sangat jelas bahwa hanya Dzat Yang Menciptakan seluruh alam inilah—baik alam yang di atas maupun yang di bawah—yang patut untuk dituju dengan segenap ketauhidan dan keikhlasan (dalam beribadah). Juga bahwasanya seluruh benda angkasa dan bintang-bintang atau yang lainnya, semua adalah makhluk yang berada di bawah aturan dan kendali Allah l. Tidak sedikit pun mereka memiliki sifat-sifat yang mengharuskan mereka berhak menerima peribadatan. Akhirnya, mereka pun mencoba menakut-nakuti Nabi Ibrahim q bahwa sesembahan mereka pasti akan menimpakan penyakit gila kepadanya.
Ini merupakan bukti bahwa yang ada pada orang-orang musyrik itu hanyalah khayalan yang rusak, pemikiran yang rendah, di mana mereka berkeyakinan bahwa sesembahan mereka itu akan memberi manfaat bagi orang-orang yang menyerahkan ibadah kepadanya, serta menimpakan kemudaratan bagi mereka yang tidak mau menyerahkan ibadahnya kepada sesembahan tersebut, ataupun mencelanya. Lalu Nabi Ibrahim q menjelaskan kepada mereka bahwa dia tidak takut sedikit pun dengan ancaman itu, bahkan merekalah yang seharusnya takut. Beliau mengatakan seperti yang diceritakan oleh Allah l dalam firman-Nya:
”Dan bagaimana mungkin aku takut kepada sesembahan yang kalian persekutukan (dengan Allah), padahal kamu tidak takut mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak pernah menurunkan hujjah (keterangan) kepada kalian untuk mempersekutukan-Nya. Maka manakah di antara dua golongan ini yang lebih berhak mendapat keamanan (dari malapetaka), jika kalian mengetahui?” (al-An’am: 81)
Allah l menjawab pertanyaan ini dengan jawaban yang umum sifatnya meliputi kisah ini dan keadaan yang serupa sepanjang masa. Firman Allah l:
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanan mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (al-An’am: 82)
Allah l mengangkat derajat khalil-Nya Ibrahim dengan ilmu dan hujjah. Sementara orang-orang musyrik tidak mampu sama sekali mempertahankan dan membela kebatilan atau kesesatan mereka. Namun mereka tetap bersikeras untuk terus menjalankan keyakinan yang mereka anut. Tidak ada gunanya teguran, peringatan, dan hujjah buat mereka. Beliau pun tetap berusaha mengajak mereka untuk kembali kepada Allah l dan melarang mereka dari mengikuti apa yang diibadahi oleh bapak-bapak mereka dengan larangan yang umum dan khusus kepada orang tertentu.
Yang lebih khusus lagi adalah ajakan beliau kepada ayahnya, Azar. Beliau menyampaikan dakwah kepada ayahnya dengan berbagai cara yang mungkin bermanfaat. Akan tetapi,
“Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka ketetapan Rabbmu, tidaklah akan beriman. Meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, sampai mereka menyaksikan azab yang pedih.” (Yunus: 96—97)
Di antara perkataan beliau kepada ayahnya adalah seperti dalam firman Allah l:
“Ingatlah ketika ia berkata kepada ayahnya, ‘Wahai ayahku, mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolongmu sedikit pun? Wahai ayahku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu yang tidak datang kepadamu…” (Maryam: 42—43)
Pembaca, coba perhatikan begitu indahnya pembicaraan ini, begitu menyentuh kalbu. Beliau tidak mengatakan kepada ayahnya, “Engkau jahil (bodoh)”, agar dengan kata-kata yang kasar ini justru menyebabkannya lari, bahkan beliau mengatakan, dalam ayat itu juga:
“Maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai ayahku, janganlah engkau menyembah setan. Sesungguhnya setan itu durhaka kepada Allah Yang Maha Pemurah. Wahai ayahku, sesungguhnya aku khawatir bahwa engkau akan ditimpa azab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan.” (Maryam: 43—45)
Beliau beralih dari satu cara ke cara yang lain dalam berdakwah, barangkali itu akan lebih manjur atau memberikan manfaat. Akan tetapi, meskipun sudah demikian, ayahnya tetap mengatakan (sebagaimana firman Allah l):
Dia berkata, “Bencikah kamu kepada sesembahanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, niscaya kamu akan kurajam dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama.” (Maryam: 46)
Demikian yang diceritakan Allah l tentang apa yang dikatakan oleh ayah Nabi Ibrahim q kepadanya. Nabi Ibrahim qtidak marah apalagi membalas ucapan tersebut. Bahkan sebaliknya, beliau membalas perbuatan itu dengan:
“Nabi Ibrahim berkata, ‘Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu’.” (Maryam: 47)
Yakni, saya tidak akan berbicara denganmu kecuali dengan kalimat-kalimat yang baik, tidak dengan kekasaran dan kekerasan, serta aku tidak berputus asa agar engkau suatu saat mendapat hidayah. Firman Allah l mengisahkan perkataan Ibrahim q kepada ayahnya:
“Aku akan memintakan ampunan bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku.” (Maryam: 47)
Yakni, bahwa Allah l sangat baik dan menyayangiku. Kelembutan-Nya menggiringku untuk selalu membiasakan hal-hal yang menarik, dan Dia senantiasa mengabulkan doaku. Nabi Ibrahim juga selalu berdakwah dan berdebat dengan kaumnya. Beliau senantiasa mematahkan hujjah mereka sehingga mereka terdiam.
Nabi Ibrahim q berupaya menghadapi mereka dengan keterangan yang paling besar serta menghadapi kekejaman, kesewenangan, kekuasaan, dan kekuatan mereka itu, tanpa rasa takut dan gentar. Ketika mereka keluar pada hari raya mereka, beliau pun keluar bersama mereka, kemudian memandang ke arah bintang-bintang dan berkata, ”Saya sakit.”
Beliau katakan demikian karena khawatir kalau dengan alasan yang lain tidak dapat meninggalkan acara tersebut dan tidak pula berhasil tujuannya. Karena beliau betul-betul menampakkan rasa permusuhan dan larangannya yang keras dalam menghadapi orang-orang musyrik itu. Ketika mereka sampai di tengah lapangan beliau segera pulang dan menuju ke rumah berhala-berhala mereka dan membuatnya hancur terpotong-potong kecuali patung yang paling besar, dengan tujuan untuk membawa mereka menerima hujjah beliau. Setelah mereka pulang dari acara hari raya itu, mereka segera menuju ke tempat pemujaan dengan penuh rasa cinta. Ternyata mereka melihat pemandangan yang menakutkan:
“Mereka berkata, ‘Siapakah yang melakukan perbuatan ini terhadap sesembahan kita, sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.’ Mereka berkata, ‘Kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini’…” (al-Anbiya: 59—60)
Yakni, menyebut berhala-berhala itu dengan sifat-sifat yang rendah dan buruk. Selanjutnya:
“…yang bernama Ibrahim.” (al-Anbiya: 60)
Setelah mereka membuktikan bahwa dialah yang melakukannya:
“Mereka berkata, ‘(Kalau demikian), bawalah dia dengan cara yang dapat dilihat orang banyak, agar mereka menyaksikan’.” (al-Anbiya: 61)
Yakni, agar dihadiri orang banyak dan mereka akan mencaci-maki serta menyiksa beliau. Inilah yang memang diharapkan oleh Nabi Ibrahim q yang ingin menampakkan kebenaran di hadapan khalayak ramai.
(bersambung)

Saat Cemburu Menyapa

Cemburu merupakan tabiat wanita. Ini juga dialami para istri Rasulullah n dan sahabiyyah yang lain. Namun tentu saja, kecemburuan ini tidak serta-merta membutakan hati mereka. Bagaimana dengan kita?

Cemburu tak hanya milik lelaki, tapi juga milik kaum wanita. Bahkan, wanitalah yang dominan memiliki sifat yang satu ini karena merupakan tabiatnya. Perasaan cemburu ini paling banyak muncul pada pasangan suami-istri. (Fathul Bari, 9/384)
Oleh karena itu, semestinya hal ini menjadi perhatian seorang suami. Sehingga ia tidak serampangan dalam meluruskan ‘kebengkokan’ sang istri dan dapat memaklumi tabiat wanita ini selama dalam batasan yang wajar. Apalagi pada hakikatnya, kecemburuan istri terhadap suaminya bukan merupakan hal yang tercela. Bahkan menjadi tanda adanya rasa cinta di hatinya. Tentunya selama tidak melampaui batasan syariat.
Menurut al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani t, asal dari sifat cemburu bukanlah hasil usaha si wanita, namun wanita memang diciptakan dengan sifat tersebut. Namun, bila cemburu itu melampaui batas dari kadar yang semestinya, maka menjadi tercela. Bila seorang wanita cemburu terhadap suaminya karena sang suami melakukan perbuatan yang diharamkan seperti berzina, mengurangi haknya, atau berbuat zalim dengan mengutamakan madunya (yaitu istri yang lain, bila si suami memiliki lebih dari satu istri), kata al-Hafizh t, cemburu semacam ini disyariatkan (dibolehkan).
Dengan syarat, hal ini pasti dan ada bukti (tidak sekadar tuduhan dan kecurigaan). Bila cemburu itu hanya didasari sangkaan, tanpa bukti, maka tidak diperkenankan. Adapun bila si suami seorang yang adil dan telah menunaikan hak masing-masing istrinya, tapi masih tersulut juga kecemburuan maka ada udzur bagi para istri tersebut (yakni dibolehkan) bila cemburunya sebatas tabiat wanita yang tidak ada seorang pun dari mereka dapat selamat darinya. Tentu dengan catatan, ia tidak melampaui batas dengan melakukan hal-hal yang diharamkan baik berupa ucapan ataupun perbuatan. (Fathul Bari, 9/393)

Cemburu Melebihi Batas
Adakalanya kecemburuan seorang istri terhadap suaminya sangat berlebihan. Di benaknya seolah hanya ada sifat curiga. Bahkan tak jarang ia melemparkan prasangka buruk kepada suaminya dan tidak bisa menerima kenyataan bila suaminya memiliki istri yang lain.
Yang ironis adalah bila ada istri yang mengalami hal ini kemudian tidak dapat menahan diri dari perkara yang Allah l haramkan, seperti lari ke “orang pintar.” Dengan bantuan tukang tenung atau tukang sihir, ia berharap suaminya membenci madunya dan hanya mencintai dirinya. Padahal perbuatan sihir merupakan perbuatan kekufuran yang diharamkan, sebagaimana Allah l nyatakan dalam firman-Nya:
“Dan mereka (orang-orang Yahudi) mengikuti apa yang dibaca oleh setan-setan pada masa kerajaan Nabi Sulaiman1 (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidaklah kafir2 akan tetapi setan-setan itulah yang kafir. Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidaklah mengajarkan sesuatu kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan, ‘Sesungguhnya kami hanyalah cobaan bagimu, karena itu janganlah engkau berbuat kekafiran.’ Maka mereka mempelajari sihir dari keduanya yang dengannya mereka dapat memisahkan antara suami dengan istrinya. Tidaklah mereka dapat memberi mudarat kepada seorang pun dengan sihir tersebut kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudarat kepada mereka dan tidak memberi manfaat. Sungguh mereka telah mengetahui bahwa barang siapa yang menjual agamanya (menukarnya) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat. Betapa jelek perbuatan mereka menjual diri mereka dengan sihir itu seandainya mereka mengetahui.” (al-Baqarah: 102)
Nabi n juga bersabda:
اجْتَنِتُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ. قَالُوْا: ياَ رَسُولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ: الشِّرْكُ بِاللهِ، وَالسِّحْرُ…
“Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan. Para sahabat bertanya, ‘Apa tujuh perkara itu, wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘(Di antaranya) syirikkepada Allah, sihir’…” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2766 dan Muslim no. 89)
Saking cemburunya, sebagian wanita bahkan ada yang sampai berangan-angan tidak dibolehkannya poligami dalam syariat ini3. Bahkan ada yang membenci syariat karena menetapkan adanya poligami. Sebagian yang lain mengharapkan kematian suaminya bila sampai menikah lagi. Yang lain tidak berangan demikian, tapi lisannya digunakan untuk mencaci-maki madunya, meng-ghibah4, dan menjatuhkan kehormatannya. (Nashihati lin Nisa, Ummu Abdillah al-Wadi‘iyyah, hlm. 158—159)
Karena sifat cemburu ini pula, mayoritas wanita merasa mendapatkan musibah yang sangat besar kala suaminya menikah lagi. Semestinya bagi seorang mukminah, apa pun kenyataan yang dihadapi, semuanya itu disadari sebagai ketentuan takdir Allah l. Semua musibah dan kepahitan yang didapatkan di dunia itu sangat kecil dibanding keselamatan agama yang diperolehnya.

Salahkah Bila Aku Cemburu?
Mungkin sering muncul pertanyaan demikian di kalangan para wanita. Maka jawabnya dapat kita dapati dari kisah-kisah istri Nabi n. Mereka pun ternyata memiliki rasa cemburu padahal mereka dipuji oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Wahai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan seorang wanita pun (yang selain kalian) jika kalian bertakwa…” (al-Ahzab: 32)
Al-Imam al-Qurthubi t menyatakan bahwa istri-istri Nabi n tidak sama dengan wanita lain dalam hal keutamaan dan kemuliaan, namun dengan syarat adanya takwapada diri mereka. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 14/115)
Nabi n sendiri sebagai seorang suami memaklumi rasa cemburu mereka, tidak menghukum mereka selama cemburu itu dalam batas kewajaran. ‘Aisyah x bertutur tentang cemburunya:
مَا غِرْتُ عَلَى امْرَأَةٍ لِرَسُوْلِ الله n كَمَا غِرْتُ عَلَى خَدِيْجَةَ لِكَثْرَةِ ذِكْرِ رَسُوْلِ اللهِ n إِيَّاهَا وَثَنَائِهِ عَلَيْهَا
“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Rasulullah n seperti cemburuku kepada Khadijah karena Rasulullah n banyak menyebut dan menyanjungnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5229 dan Muslim no. 2435)
‘Aisyah x pernah berkata kepada Nabi n mengungkapkan rasa cemburunya kepada Khadijah:
كَأَنَّهَ لَمْ يَكُنْ فِي الدُّنْيَا امْرَأَةٌ إِلاَّ خَدِيْجَةُ؟ فَيَقُوْلُ: إِنَّهَا كَانَتْ وَكَانَتْ وَكَانَ لِي مِنْهَا وَلَدٌ
“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita kecuali Khadijah?” Nabi n menjawab, “Khadijah itu begini dan begitu5, dan aku mendapatkan anak darinya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 3818)
Al-Hafizh Ibnu Hajar t berkata, “Sebab kecemburuan ‘Aisyah karena Rasulullah n banyak menyebut Khadijah  x meski Khadijah x telah tiada dan ‘Aisyah x aman dari tersaingi oleh Khadijah x. Namun karena Rasulullah  n sering menyebutnya, ‘Aisyah x memahami betapa berartinya Khadijah x bagi beliau. Karena itulah bergejolak kemarahan ‘Aisyah x mengobarkan rasa cemburunya hingga mengantarkannya untuk mengatakan kepada suaminya, “Allah l telah menggantikan untukmu wanita yang lebih baik darinya.” Namun Rasulullah n berkata, “Allah l tidak pernah menggantikan untukku wanita yang lebih baik darinya.” Bersamaan dengan itu, kita tidak mendapatkan adanya berita yang menunjukkan kemarahan Rasulullah n kepada ‘Aisyah x, karena ‘Aisyah x mengucapkan hal tersebut didorong rasa cemburunya yang merupakan tabiat wanita.” (Fathul Bari, 9/395)
Pernah ketika Nabi n berada di rumah seorang istrinya, salah seorang ummahatul mukminin (istri beliau yang lain) mengirimkan sepiring makanan untuk beliau. Melihat hal itu, istri yang Nabi n sedang berdiam di rumahnya segera memukul tangan pelayan yang membawa makanan tersebut hingga jatuhlah piring itu dan pecah. Nabi n pun mengumpulkan pecahan piring tersebut kemudian mengumpulkan makanan yang berserakan lalu beliau letakkan di atas piring yang pecah seraya berkata, “Ibu kalian sedang cemburu.” Beliau lalu menahan pelayan tersebut hingga diberikan kepadanya ganti berupa piring yang masih utuh milik istri yang memecahkannya, sementara piring yang pecah disimpan di tempatnya. (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5225)
Hadits ini menunjukkan wanita yang sedang cemburu tidaklah diberi hukuman atas perbuatan yang dia lakukan tatkala api cemburu berkobar. Karena dalam keadaan demikian, akalnya tertutup disebabkan kemarahan yang sangat. (Fathul Bari, 9/391, Syarah Shahih Muslim, 15/202)
Namun, bila cemburu itu mengantarkan kepada perbuatan yang diharamkan seperti mengghibah, maka Rasulullah n tidak membiarkannya. Suatu saat ‘Aisyah x berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, cukup bagimu Shafiyyah, dia itu begini dan begitu.” Salah seorang rawi hadits ini mengatakan bahwa yang dimaksud ‘Aisyah adalah Shafiyyah itu pendek. Mendengar hal tersebut, Rasulullah n berkata kepada ‘Aisyah:
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَوْ مُزِجَتْ بِمَاءِ الْبَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah mengucapkan satu kata, yang seandainya dicampur dengan air lautan niscaya akan dapat mencampurinya (yakni mencemarinya).” (HR. Abu Dawud no. 4232. Isnad hadits ini sahih dan rijal-nya tsiqah, sebagaimana disebutkan dalam Bahjatun Nazhirin, 3/25)
Juga kisah lainnya, ketika sampai berita kepada Shafiyyah x bahwa Hafshah  x mencelanya dengan mengatakan, “Putri Yahudi”, Shafiyyah menangis. Bersamaan dengan itu Nabi n masuk menemuinya dan mendapatinya sedang menangis. Maka beliau pun bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
Shafiyyah menjawab, “Hafshah mencelaku dengan mengatakan aku putri Yahudi.”
Nabi n berkata menghiburnya, “Sesungguhnya engkau adalah putri seorang nabi, pamanmu adalah seorang nabi, dan engkau adalah istri seorang nabi. Lalu bagaimana dia membanggakan dirinya terhadapmu?”
Kemudian beliau menasihati Hafshah x, “Bertakwalah kepada Allah, wahai Hafshah.” (HR. an-Nasa’i dalam ‘Isyratun Nisa, hlm. 43 dan selainnya)
Wallahu a’lam.
(bersambung)

1 Setan-setan menyebarkan berita bohong bahwasanya Nabi Sulaiman q menggunakan ilmu sihir sehingga ia memperoleh kerajaan yang sedemikian besar. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/139)
2 Dengan mempelajari sihir. (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 61)
3 Bahkan poligami (ta’addud) perkara yang disyariatkan sebagaimana firman Allah l:
“Nikahilah wanita-wanita lain yang kalian senangi, dua, tiga, atau empat. Namun bila kalian khawatir tidak dapat berlaku adil di antara para istri, maka nikahilah satu wanita saja…” (an-Nisa: 3)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di berkata, “Seorang lelaki terkadang tidak tercukupi syahwatnya dengan satu istri, maka dibolehkan baginya untuk menikahi wanita lain, satu demi satu, hingga terkumpul padanya empat istri. Pada jumlah ini terdapat kecukupan bagi setiap orang, kecuali orang tertentu yang jumlahnya sangat minim. Poligami ini juga dibolehkan bagi seseorang bila ia merasa dirinya aman dari berbuat aniaya dan zalim terhadap istri-istrinya serta ia percaya dapat menunaikan hak-hak mereka. Bila ia khawatir tidak dapat berlaku demikian, maka hendaknya ia mencukupkan dengan seorang istri.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 164)
Dan tentu ada hikmah-hikmah lain dalam poligami, seperti dijelaskan oleh para ulama. (red.)
“Engkau menyebut tentang saudaramu dengan apa yang tidak ia sukai.” Lalu ada yang bertanya kepada beliau, “Apa pendapatmu, wahai Rasulullah, bila apa yang kuucapkan memang ada pada diri saudaraku?” Beliau menjawab, “Bila memang apa yang kamu ucapkan itu ada pada diri saudaramu berarti engkau telah mengghibahnya, namun bila apa yang kau katakan itu tidak ada pada dirinya berarti engkau telah berkata dusta.” (HR. Muslim no. 2589)
5 Yakni Khadijah x itu wanita yang memiliki keutamaan, wanita yang cerdas dan semisalnya. Dalam riwayat Ahmad dari hadits Masruq dari ‘Aisyah x, Nabi n mengatakan, “Dia beriman kepadaku ketika semua manusia mengkufuriku, dia membenarkan aku ketika semua manusia mendustakanku, dia mendukungku dengan hartanya ketika manusia menahannya dariku, dan Allah l memberi rezeki kepadaku berupa anak darinya ketika aku tidak mendapatkan anak dari istri-istriku yang lain.” (Fathul Bari, 7/170)

Akhlak Iblis

Setiap orang bercita-cita untuk mendapatkan yang terbaik dan yang paling membahagiakan, mendapatkan keselamatan dunia dan akhirat. Akan tetapi sedikit dari mereka yang mengetahui jalannya. Seorang pencuri, pezina, dan pemabuk bisa mengatakan dirinya yang paling bahagia dan tenteram, serta mengklaim orang lain yang menjaga dirinya dari bermaksiat kepada Allah l sebagai seorang yang sok suci dan bersih, mengklaimnya sebagai seorang yang kolot dan kuno. Demikianlah hawa nafsu apabila telah mencapai apa yang diinginkan. Rintangan demi rintangan bukan sebagai badai yang mengempas bahtera nafsunya. Zikir dan peringatan serta nasihat bukan lagi sebagai pengetuk gendang telinga dan mata hatinya.
Prinsipnya adalah “semua rintangan akan dihadapi serta semua nasihat akan ditepis dan dibantah, setelah itu menjadi kepingan-kepingan besi yang telah berkarat dan tidak berarti.” Demikianlah hawa nafsu yang telah naik meninggi ke angkasa. Sulit melihat diri dan keselamatannya. Dia juga akan berprinsip “tidak peduli”: biarlah anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Dia pun akan berkata, “No problem” walaupun Allah l menurunkan utusan-utusan-Nya dari langit. Demikianlah hawa nafsu yang sudah bergulung dalam kenistaan hidup, yang karenanya lawan akan bisa menjadi teman dan kawan akan bisa menjadi lawan, yang ma’ruf akan bisa menjadi mungkar dan mungkar karenanya akan bisa menjadi ma’ruf. Inilah yang dikhawatirkan Rasulullah n di dalam sabda beliau:
إِنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ بَعْدِيْ بُطُوْنَكُمْ وَفُرُوْجَكُمْ وَمُضِلاَّتِ اْلأَهْوَاءِ
“Sesungguhnya dari perkara-perkara yang aku khawatirkan menimpa kalian setelahku adalah permasalahan perut-perut kalian (kerakusan), kemaluan-kemaluan kalian (syahwat), dan hawa nafsu-hawa nafsu yang menyesatkan.” (HR. al-Imam Ahmad, ath-Thabarani, Ibnu Abi ‘Ashim di dalam as-Sunnah, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di dalam kitab Zhilal al-Jannah, hlm. 30, dari sahabat Abu Barzah al-Aslami z)
Kerakusanlah yang menjadi mesin pendorong nafsunya untuk mencapai keinginannya dan menabrak segala penghadang di jalannya. Meski yang menghadangnya adalah kobaran api yang menjadi wujud lampu merah dari Allah l dan Rasul-Nya Muhammad n. Rasulullah n menjelaskan:
“Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, dia akan berkeinginan untuk mendapatkan dua lembah, dan tidak ada yang akan menutup mulutnya melainkan tanah dan Allah l akan menerima taubat orang-orang yang bertaubat.” (HR. al-Bukhari no. 5958, Muslim no. 1049, serta al-Imam Ahmad, 1/370 dan 3/122, dari sahabat Abdullah bin ‘Abbas dan Anas bin Malik c)

Bagaimanakah Akhlak Iblis?
Mengejar syahwat dan menolak kebenaran adalah akhlak iblis. Menipu dan menebarkan syubhat adalah akhlak iblis. Candu bermaksiat, menghalangi orang dari jalan Allah l, meremehkan orang lain, rakus, tamak, sombong, angkuh, dan sebagainya, itulah akhlak iblis. Seluruh perkara yang merupakan perbuatan maksiat kepada Allah l baik dengan ucapan maupun perbuatan, itulah akhlak iblis.

Peringatan Allah l dari Akhlak Iblis
Allah l berfirman di dalam Al-Qur’an:
“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, maka sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah setan yang pandai menipu memperdayakan kamu tentang Allah. Sesungguhnya setan itu adalah musuh bagi kalian, maka jadikanlah dia musuh karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Fathir: 5—6)
“Wahai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dan apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian. Sesungguhnya setan itu hanya menyuruh kalian berbuat jahat dan keji, dan mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (al-Baqarah: 168—169)
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.” (al-Baqarah: 208)
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Barang siapa yang mengikuti langkah-langkah setan, maka sesungguhnya setan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan mungkar.” (an-Nur: 21)
Ibnu Katsir t dalam Tafsir-nya (1/209), mengatakan, “‘Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagi kalian’, (di sini) ada peringatan untuk menjauh darinya (setan).”
Al-Imam Qatadah dan as-Suddi  rahimahumallah mengatakan, “‘Janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan’, artinya segala bentuk kemaksiatan kepada Allah l, maka itulah langkah-langkah setan.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/209)
Ibnul Jauzi t mengatakan, “Ketahuilah bahwa tatkala Adam q diciptakan, diberikan kepadanya hawa nafsu dan syahwat untuk mendapatkan apa yang bermanfaat baginya, serta diberikan sifat marah untuk menolak apa yang akan mengganggunya, dan diberikan akal seolah-olah bagaikan pendidik yang dia menyeru untuk melakukan keadilan dalam segala perkara yang harus diraih dan ditinggalkan. Dan Allah l menciptakan setan, membangkitkan untuk melampaui batas dalam meraih dan meninggalkannya. Maka kewajiban atas orang yang berakal adalah berhati-hati dari musuh ini, yang telah memproklamirkan permusuhannya semenjak Nabi Adam q, serta telah menghabiskan umur dan dirinya untuk melakukan kerusakan di tengah-tengah Bani Adam.” (al-Muntaqa an-Nafis, hlm. 51)
Beliau juga mengatakan, “Maka kapan saja setan menggoda seseorang terhadap satu perkara maka hendaklah dia berhati-hati dengan sangat. Hendaklah dia berkata kepadanya (setan) ketika dia menyuruh untuk bermaksiat: ‘Sesungguhnya kamu hanya memerintahkan diriku untuk mencapai syahwat birahiku, lalu bagaimana tampak kebenaran suatu nasihat bagi seseorang yang tidak bisa menasihati dirinya sendiri? Pergilah kamu! Kamu tidak menemukan celah pada diriku’.” (al-Muntaqa an-Nafis, hlm. 53)

Suka Selalu Di atas Adalah Akhlak Iblis
Menyukai hal itu adalah suatu penyakit kronis yang harus segera ditangani dengan penuh saksama dan terus-menerus. Setan akan membisikkan kepadamu bahwa engkau adalah orang alim, ahli ibadah, orang zuhud, qana’ah, dan orang dermawan. Coba lihat teman-temanmu, mereka tidak ada artinya di hadapanmu. Mereka jauh darimu dan mereka tidak akan menyamaimu walaupun seujung kuku kaki atau tanganmu.
Dengarkan bantahan iblis terhadap perintah Allah l:
“Apa yang menghalangimu untuk sujud kepada apa yang aku telah menciptakannya dengan kedua tangan-Ku, apakah kamu telah menyombongkan diri atau kamu termasuk orang-orang yang lebih tinggi?” Iblis menjawab, “Aku lebih baik darinya, aku Engkau ciptakan dari api, sedangkan Adam Engkau ciptakan dari tanah.” (Shad: 75—76)
Iblis juga berkata,
“Dia berkata, ‘Terangkanlah kepadaku, inikah orang yang engkau muliakan atas diriku?’.” (al-Isra: 62)
Ibnul Jauzi t mengatakan bahwa maknanya adalah, “Beritakanlah kepadaku apa alasannya Engkau memuliakan dia di atasku?” (al-Muntaqa, hlm. 53)
Cinta untuk selalu di atas akan menghalangi seseorang dari ilmu dan akan menggagalkan perjuangan. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t mengatakan, “Seseorang yang takabur (sombong) tidak mungkin akan mendapatkan ilmu, karena ilmu itu memerangi kesombongan tersebut seperti mata air yang mengempaskan tempat yang tinggi. Karena tempat yang tinggi akan selalu digoyangkan oleh air ke kanan dan ke kiri sehingga air itu tidak diam. Begitu juga ilmu. Dia tidak akan tinggal bersama kesombongan dan sifat yang suka ketinggian, yang pada akhirnya ilmu tersebut dicabut darinya.” (al-’Ilmu, hlm. 80)
Cinta untuk selalu menjadi orang yang berada di atas adalah satu wujud kemaksiatan kepada Allah l. Bila demikian keadaannya maka akan melahirkan kemaksiatan yang baru. Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi t mengatakan, “Dosa akan menghasilkan dosa baru, karena balasan perbuatan jahat adalah kejelekan setelahnya.” (Syarah al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, hlm. 440)
Apabila seseorang memiliki penyakit yang demikian maka akan melahirkan penyakit yang lain. Di antaranya:
Pertama, apabila dia melihat orang lain lebih dari dirinya maka dia akan hasad kepada orang tersebut, sampai kelebihan/keutamaan itu hilang dari orang tersebut.
Kedua, apabila dia sampai kepada apa yang dicintainya (diinginkannya) maka dia akan meremehkan orang lain, bahkan meremehkan gurunya sendiri.
Ketiga, apabila dia beramal satu amalan yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain maka akan bermunculan penyakit-penyakit kronis lainnya:
a.    angkuh (ujub) terhadap dirinya, menganggap dirinyalah yang paling baik,
b.    muncul sifat riya’ (ingin pamer) dalam beramal supaya orang lain memujinya,
c.    muncul sifat sum’ah (ingin memperdengarkan amalannya) supaya orang lain memuji-mujinya.
Keempat, apabila datang cercaan kepadanya maka dia menganggap yang demikian itu adalah azab.
Demikianlah sebagian akhlak iblis yang akan menjauhkan seseorang dari Allah l. Berhati-hatilah dari akhlak tersebut dengan cara mempelajari perjalanan hidup Rasulullah n dan para sahabat beliau, yang telah berjuang di atas perjuangan kita ini dan mereka lebih dari segala-galanya. Kiaskan perjuangan dirimu dengan perjuangan mereka maka kamu akan menemukan dirimu jauh dari mereka. Oleh karena itu, untuk apakah kamu mengangkat dirimu?
Wallahu a’lam.

Wajibkah membaca Bismillah Saat Mulai Berwudhu?

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin t ketika ditanya, “Apakah mengucapkan tasmiyah (membaca basmalah) itu wajib di dalam berwudhu?”
Beliau menjawab, “Tasmiyah saat mulai berwudhu tidaklah wajib akan tetapi sunnah karena hadits masalah tasmiyah ini ada pembicaraan di dalamnya (fihi nazhar).
Al-Imam Ahmad t berkata, ‘Tidak ada satu hadits pun yang kokoh dalam masalah ini.’ Padahal telah diketahui oleh semua orang bahwa al-Imam Ahmad t termasuk salah seorang imam dalam ilmu hadits dan salah seorang yang mencapai puncak hafalan dalam hadits. Apabila beliau mengatakan [tidak ada satu hadits pun kokoh dalam masalah ini], maka keberadaan hadits tasmiyah menyisakan ganjalan di hati. Apabila penetapan terhadap hadits ini ada pembicaraan tentangnya, maka tidak boleh seseorang mengharuskan/memaksakan orang lain berpegang dengan sesuatu yang tidak pasti datangnya dari Rasulullah n.
Karena itulah aku memandang tasmiyah dalam wudhu itu sunnah. Akan tetapi, orang yang menetapkan kokohnya hadits tasmiyah ini wajib untuk berpendapat dengan apa yang dikandung oleh hadits tersebut yaitu bahwa tasmiyah ini wajib karena ucapan Nabi: لاَ وُضُوءَ (tidak ada wudhu) yang sahih maknanya adalah menafikan (meniadakan) sahnya wudhu, bukan menafikan kesempurnaan wudhu.” (Majmu‘ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 4/116—117)
Wallahu a’lam.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ z قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ n: أَلَا أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهَ بِهِ الْخَطَايَا وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ؟ قَالُوا: بَلَى يَا رَسُولَ اللهِ. قَالَ: إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْحُطَا إِلَى الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الصَّلَاةِ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ
Dari Abu Hurairah z berkata, “Telah bersabda Rasulullah n, ‘Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang dengannya Allah akan menghapus kesalahan-kesalahan kalian dan Allah akan angkat derajat-derajat (kalian)?’ Mereka menyatakan, ‘Ya, wahai Rasulullah.’ Beliau mengatakan, ‘Menyempurnakan wudhu meskipun payah, memperbanyak langkah ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah ar-ribath, itulah ar-ribath, itulah ar-ribath (yakni tergolong menjaga perbatasan wilayah muslimin)’.” (Sahih, HR. Muslim)

Kado Untuk Ayah Bunda

Banyak orang tua yang merasa telah cukup memberikan perhatian kepada anak dengan menuruti segala keinginan mereka. Namun soal pendidikan agama terutama akhlakul karimah, para orang tua cenderung menomorduakannya. Walhasil, anak bukan menjadi anugerah, namun justru menjadi fitnah.

Sang buah hati tumbuh dalam pelukan ayah bundanya, dalam kehangatan pangkuan yang penuh kasih sayang. Begitu pun ayah bunda, segala yang terbaik ingin diberikan sebagai tanda cinta bagi sang permata. Pun tak dibiarkan walau sekejap, rasa sakit singgah pada dirinya. Si buah hati bagai tak ternilai harganya.
Anak sebagai anugerah yang menyejukkan pandangan adalah nikmat dari sisi Allah l. Sehingga hamba-hamba Allah l yang beriman senantiasa memanjatkan permohonan agar kelak dari sulbi mereka, lahir anak-anak yang taat kepada Allah l dan menyembah kepada Allah l semata. Tak ada sesuatu yang lebih menyejukkan pandangannya daripada melihat anak-anaknya taat kepada Rabbnya.
“Dan orang-orang yang mengatakan, ‘Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan sebagai penyejuk pandangan kami, dan jadikanlah kami sebagai imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (al-Furqan: 74)
Namun permohonan ini bukanlah sekadar permohonan belaka, tanpa menempuh satu upaya pun. Setiap ayah ibu yang mengangankan anak-anak yang baik sebagai penyejuk hati tentu akan berusaha sekuat kemampuannya untuk mewujudkannya. (Ahammiyatu Tarbiyatil Abna1)
Bahkan demikianlah yang Allah l perintahkan, ketika Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (at-Tahrim: 6)
Dalam ayat ini, Allah l tidak hanya memerintahkan untuk menjaga diri dari api neraka, namun juga memerintahkan untuk menjaga keluarga. (Ahammiyatu Tarbiyatil Abna’)
Hal ini dilakukan dengan memberikan wasiat kepada mereka untuk bertakwa kepada Allah l dan membekali mereka dengan pendidikan adab, memerintahkan mereka untuk taat kepada Allah l, melarang mereka dari segala perbuatan durhaka kepada Allah l, serta mengajarkan kebaikan kepada mereka. (Fathul Bari, 8/527)
Rasulullah n juga mengingatkan bahwa setiap orang memikul tanggung jawabnya dan akan ditanya kelak pada hari kiamat tentang pelaksanaan tanggung jawabnya itu. Demikian yang dikisahkan oleh Abdullah bin ‘Umar c dari Nabi n:
أَلاَ كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَالْأَمِيْرُ الَّذِي عَلىَ النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلىَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُمْ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُوْلَةٌ عَنْهُمْ، وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُوْلٌ عَنْهُ، أَلاَ فَكُلُّكُمْ رَاعِ وَكُلُّكُمْ مَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan akan ditanyai tentang tanggung jawabnya. Maka seorang pemimpin yang memimpin manusia adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanya tentang mereka. Seorang laki-laki adalah penanggung jawab atas keluarganya dan kelak dia akan ditanya tentang mereka. Seorang istri adalah penanggung jawab rumah tangga dan anak-anak suaminya dan kelak akan ditanya. Seorang hamba sahaya adalah penanggung jawab harta tuannya dan kelak dia akan ditanya tentangnya. Ketahuilah, setiap kalian adalah penanggung jawab dan kelak akan ditanyai tentang tanggung jawabnya.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 5188 dan Muslim no. 1829)
Akan tetapi sangat disayangkan, betapa banyak orang tua yang tidak menunaikan kewajiban yang diamanahkan kepadanya dengan semestinya. Tidak ada penjagaan, perhatian, ataupun pendidikan yang baik kepada anak-anaknya, hingga pada akhirnya anak-anak itu pun tidak memberikan bakti kepada ayah bundanya, dan justru menjadi ujian, kesempitan, kesengsaraan, dan kerusakan bagi keluarga dan masyarakatnya. Terluputlah segala manfaat yang mestinya dapat dipetik dari anak-anak, dan tinggallah kerugian dan sesal dalam diri ayah dan ibunya.
“Katakanlah, sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang merugikan dirinya dan keluarganya pada hari kiamat. Ketahuilah, sesungguhnya itulah kerugian yang nyata.” (az-Zumar: 15)
Anak-anak ibarat ranting muda yang begitu mudah digoyangkan oleh embusan pemikiran yang menyesatkan, tuntunan yang menyimpang, dan akhlak yang rusak. Bila demikian keadaannya, dari diri mereka akan tumbuh generasi yang rusak, tidak menjaga hak-hak Allah l dan kehormatan manusia, generasi yang kacau, tidak memandang kebaikan sebagai hal yang baik dan tidak mengingkari kemungkaran.
Kalau bukan di tangan ayah dan bunda, pada siapakah pendidikan mereka akan diserahkan?
Terkadang ayah dan ibu beralasan, mereka tidak kuasa lagi mendidik anak-anaknya karena sikap si anak yang terlampau ‘kurang ajar’ kepada ayah dan ibunya. Kalaulah alasan ini dilihat dengan pikiran yang jernih, maka sesungguhnya penyebab hilangnya kewibawaan orang tua di hadapan anak-anaknya tidak lain karena sejak awal, orang tua tidak menunaikan dengan baik kewajiban mereka terhadap sang anak. Anak-anak dibiarkan bersikap semaunya. Tak pernah ada sapaan untuk menanyakan keadaan mereka. Tak pernah didapati kehangatan saat berkumpul bersama. Tak pernah pula dijumpai kebersamaan saat menikmati hidangan makan. Terciptalah jarak yang jauh antara anak dengan ayah bundanya. Bagaimana mungkin pada akhirnya orang tua mengharap sang anak akan menurut dan mendengar nasihatnya?
Andai saja ayah bunda sejak semula bertakwa kepada Allah l dan mendidik anak-anak sesuai dengan perintah Allah l, maka Allah l akan menjadikan kebaikan dalam hal ini di dunia dan di akhirat. Allah l berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, sungguh dia memperoleh keberuntungan yang besar.” (al-Ahzab: 70—71) [Ahammiyatu Tarbiyatil Abna]
Bila demikian pentingnya pendidikan anak-anak dan demikian besar tanggung jawab itu, tentu ayah dan bunda mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menjadi pendidik yang pertama bagi buah hati tumpuan harapan mereka. Sudah semestinya ayah dan ibu mencurahkan kesungguhan untuk mendidik anak-anak dengan pendidikan yang baik, membekali mereka dengan ilmu yang bermanfaat, mengajarkan akhlak yang mulia dan menghindarkan sejauh mungkin kebiasaan-kebiasaan buruk dari mereka.
Yang juga tak kalah penting, ayah dan ibu semestinya menjadi teladan yang baik bagi anak-anak, baik dalam ucapan maupun perilaku. Alangkah baiknya jika anak melihat ayah bundanya senantiasa melaksanakan segala yang mereka perintahkan. Demikian yang selayaknya dilakukan, karena Allah l memberikan peringatan:
“Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian lakukan? Teramat besar kebencian di sisi Allah apabila kalian mengatakan apa yang tidak kalian lakukan.” (ash-Shaff: 2—3)
Pun ayah dan bunda semestinya memerhatikan kejujuran ucapannya, serta tidak mendidik anak-anak dengan kedustaan. Telah datang peringatan dari Rasulullah n tentang “kejujuran dan kedustaan” yang disampaikan oleh Abdullah bin Mas’ud z:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ، وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِِ صِدِّيْقًا، وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُوْرِ وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ، وَلاَ يَزَالُ الْعَبْدُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللهِ كَذَّابًا
“Kejujuran itu membawa pada kebaikan dan kebaikan membawa ke jannah (surga). Seseorang senantiasa jujur dan berusaha untuk jujur hingga dia dicatat di sisi Allah l sebagai orang yang jujur. Sedangkan kedustaan menyeret pada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa membawa ke neraka. Seorang hamba senantiasa berbuat dusta dan berusaha untuk berdusta, hingga dia dicatat di sisi Allah l sebagai seorang pendusta.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 6094 dan Muslim no. 2607)
Demikian pula yang diterapkan pada anak-anak. Mereka dididik untuk mencintai kejujuran dan membiasakan mereka untuk jujur, walaupun dalam canda dan gurauan.
Yang biasa terlalaikan dari ayah dan ibu adalah masalah pemenuhan janji. Terkadang mereka menjanjikan sesuatu kepada anak-anak, namun akhirnya tak terpenuhi. Semestinya ayah dan ibu memerhatikan hal ini agar anak-anak belajar dari pribadi orang tuanya tentang kejujuran dan pemenuhan janji. Bagaimana kiranya anak-anak diajarkan tentang jeleknya kedustaan dan ingkar janji, sementara mereka mendapatinya dalam diri ayah bundanya? (Nida’ ilal Murabbiyyin wal Murabbiyyat, hlm. 10—16)
Tak boleh dilupakan, mendidik anak membutuhkan kesabaran dan kiat khusus. Karena di antara anak-anak ada yang ingin diperlakukan dengan lemah lembut, tidak menyukai kekerasan dan hardikan. Ada pula anak-anak yang membutuhkan seseorang yang bisa bertindak keras terhadapnya. Namun tentu saja kekerasan itu tidak melebihi kewajaran. Apabila tindakan itu terlampau keras, maka sang anak justru akan bersikap keras kepala dan tidak memedulikan nasihat ayah dan ibunya. (Nashihati lin Nisa, hlm. 64)
Buah hati penyejuk mata, dia adalah sosok yang senantiasa membutuhkan uluran tangan kedua ayah bundanya. Senantiasa tertanam harapan akan selalu bersama mereka, di dunia dan di akhirat.
“Dan orang-orang yang beriman dan anak keturunan mereka mengikuti keimanan mereka, akan Kami pertemukan anak keturunan itu dengan mereka, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun amalan mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang diusahakannya.” (ath-Thur: 21)
Wallahu a’lam.

Iman


‘Umar bin al-Khaththab z berkata kepada sahabatnya:
“Marilah kita menambah iman!” Lalu mereka berzikir kepada Allah l.
Hubaib bin Hamasah z:
“Sesungguhnya iman bertambah dan berkurang.” Ia ditanya, “Apakah tanda bertambah dan berkurangnya?” Ia menjawab, “Jika kita mengingat dan takut kepada Allah l, maka itu tanda bertambahnya keimanan; dan jika kita lalai, lupa, dan menyia-nyiakan waktu, itu pertanda berkurangnya iman.”
Ibnu Mas’ud z:
“Seluruh keyakinan yang benar adalah keimanan.” (Maksudnya keyakinan yang mendorong amal saleh).
Mu’adz bin Jabal z:
“Marilah duduk bersamaku untuk beriman (berzikir) sesaat.”
Al-Hasan al-Bashri t:
“Aku mencari jannah (surga) dengan keyakinan, lari dari neraka dengan keyakinan, menunaikan kewajiban dan sabar di atas kebenaran dengan keyakinan.” (maksudnya dengan iman)
‘Umar bin Abdul ‘Aziz t menulis surat kepada ‘Adi bin ‘Adi:
“Sesungguhnya iman mempunyai kewajiban-kewajiban, syariat-syariat, hukum-hukum, dan sunnah-sunnahnya. Barang siapa menyempurnakan perkara-perkara tersebut maka ia telah menyempurnakan keimanannya. Dan barang siapa tidak menyempurnakannya berarti ia belum menyempurnakan keimanannya. Jika aku masih diberi umur panjang, aku akan menjelaskan masalah ini kepadamu hingga kamu melaksanakannya. Jika aku mati, maka aku memang tidak bersemangat untuk bersama kalian.”
Sufyan ats-Tsauri t:
“Bila keimanan bersemi dalam hati sesuai dengan tuntunan syariat niscaya hati rindu terbang ke jannah dan takut dari siksa neraka.”
Luqman:
“Amal tidak mampu tegak kecuali dengan iman. Barang siapa lemah keimanannya, maka lemah amalnya.”
Abdullah bin Ukaim t:
“Aku mendengar Abdullah bin Mas’ud z berdoa, ‘Ya Allah, tambahkan keimanan, keyakinan, dan pemahamanku’.”
(Dari Fathul Bari karya Ibnu Rajab al-Hanbali, Maktabah Sahab)

Membongkar Kesesatan Syi’ah


Serupa tapi tak sama. Barangkali ungkapan ini tepat untuk menggambarkan Islam dan kelompok Syi’ah. Secara fisik, memang sulit dibedakan antara penganut Islam dengan Syi’ah. Namun jika ditelusuri—terutama dari sisi akidah—perbedaan di antara keduanya ibarat minyak dan air. Sehingga tidak mungkin disatukan.
Apa Itu Syi’ah?
Syi’ah menurut etimologi bahasa Arab bermakna pembela dan pengikut seseorang. Selain itu juga bermakna: Setiap kaum yang berkumpul di atas suatu perkara. (Tahdzibul Lughah 3/61, karya Azhari dan Tajul Arus 5/405, karya az-Zabidi. Dinukil dari kitab Firaq Mu’ashirah, 1/31, karya Dr. Ghalib bin ‘Ali al-Awaji)
Adapun menurut terminologi syariat bermakna: Mereka yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib z lebih utama dari seluruh sahabat dan lebih berhak untuk memegang tampuk kepemimpinan kaum muslimin, demikian pula anak cucu sepeninggal beliau. (al-Fishal fil Milali wal Ahwa wan Nihal, 2/113, karya Ibnu Hazm)
Syi’ah, dalam sejarahnya mengalami sejumlah pergeseran. Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok ini terpecah menjadi lima sekte yaitu Kaisaniyyah, Imamiyyah (Rafidhah), Zaidiyyah, Ghulat, dan Isma’iliyyah. Dari kelimanya, lahir sekian banyak cabang-cabangnya. (al-Milal wan Nihal, hlm. 147, karya asy-Syihristani)
Tampaknya, yang terpenting untuk diangkat pada edisi kali ini adalah sekte Imamiyyah atau Rafidhah, yang sejak dahulu hingga kini berjuang keras untuk menghancurkan Islam dan kaum muslimin. Dengan segala cara, kelompok sempalan ini terus-menerus menebarkan berbagai macam kesesatannya. Terlebih lagi kini didukung dengan negara Iran-nya.
Rafidhah رَافِضَة, diambil dari رَفَضَ – يَرْفُضُ yang menurut etimologi bahasa Arab bermakna تَرَكَ – يَتْرُكُ, meninggalkan (al-Qamus al-Muhith, hlm. 829).
Sedangkan dalam terminologi syariat bermakna: Mereka yang menolak imamah (kepemimpinan) Abu Bakr dan Umar c, berlepas diri dari keduanya, dan mencela sekaligus menghina para sahabat Nabi n. (Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, 1/85, karya Abdullah al-Jumaili)
Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata, “Aku telah bertanya kepada ayahku, siapa Rafidhah itu?” Maka beliau menjawab, “Mereka adalah orang-orang yang mencela Abu Bakr dan Umar c.” (ash-Sharimul Maslul ‘Ala Syatimir Rasul hlm. 567, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t)
Sebutan “Rafidhah” ini erat kaitannya dengan Zaid bin ‘Ali bin Husain bin ‘Ali bin Abu Thalib dan para pengikutnya ketika memberontak kepada Hisyam bin Abdul Malik bin Marwan di tahun 121 H. (Badzlul Majhud, 1/86)
Asy-Syaikh Abul Hasan al-Asy’ari  t berkata, “Zaid bin ‘Ali adalah seorang yang melebihkan ‘Ali bin Abu Thalib z atas seluruh sahabat Rasulullah n, mencintai Abu Bakr dan ‘Umar c, serta memandang bolehnya memberontak1 terhadap para pemimpin yang jahat. Maka ketika ia muncul di Kufah, di tengah-tengah para pengikut yang membai’atnya, ia mendengar dari sebagian mereka celaan terhadap Abu Bakr dan ‘Umar c. Ia pun mengingkarinya, hingga akhirnya mereka (para pengikutnya) meninggalkannya. Maka ia katakan kepada mereka:
رَفَضْتُمُوْنِي؟
“Kalian tinggalkan aku?”
Maka dikatakanlah bahwa penamaan mereka dengan Rafidhah dikarenakan perkataan Zaid kepada mereka “Rafadhtumuunii.” (Maqalatul Islamiyyin, 1/137)
Demikian pula yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam Majmu’ Fatawa (13/36).
Rafidhah pasti Syi’ah, sedangkan Syi’ah belum tentu Rafidhah. Karena tidak semua Syi’ah membenci Abu Bakr dan ‘Umar sebagaimana keadaan Syi’ah Zaidiyyah.
Rafidhah sendiri terpecah menjadi beberapa cabang. Namun yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan kali ini adalah al-Itsna ‘Asyariyyah.
Siapakah Pencetusnya?
Pencetus pertama bagi paham Syi’ah Rafidhah ini adalah seorang Yahudi dari negeri Yaman (Shan’a) yang bernama Abdullah bin Saba’ al-Himyari, yang menampakkan keislaman di masa kekhalifahan ‘Utsman bin Affan.2
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Asal ar-Rafdh ini dari munafiqin dan zanadiqah (orang-orang yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran, pen). Pencetusnya adalah Abdullah bin Saba’ az-Zindiq. Ia tampakkan sikap ekstrem di dalam memuliakan ‘Ali, dengan suatu slogan bahwa ‘Ali yang berhak menjadi imam (khalifah) dan ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari segala dosa, pen).” (Majmu’ Fatawa, 4/435)
Sesatkah Syi’ah Rafidhah ?
Berikut ini akan dipaparkan prinsip (akidah) mereka dari kitab-kitab mereka yang ternama, untuk kemudian para pembaca bisa menilai sejauh mana kesesatan mereka.
a.    Tentang Al-Qur’an
Di dalam kitab al-Kafi (yang kedudukannya di sisi mereka seperti Shahih al-Bukhari di sisi kaum muslimin), karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini (2/634), dari Abu Abdullah (Ja’far ash-Shadiq), ia berkata, “Sesungguhnya Al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000 ayat.”
Di dalam Juz 1, hlm. 239—240, dari Abu Abdillah ia berkata, “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihassalam. Mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu. Abu Bashir berkata, ‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Ia (Abu Abdillah) berkata, ‘Mushaf tiga kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari Al-Qur’an kalian…’.” (Dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal Qur’an, hlm. 31—32, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Bahkan salah seorang “ahli hadits” mereka yang bernama Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi telah mengumpulkan sekian banyak riwayat dari para imam mereka yang ma’shum (menurut mereka), di dalam kitabnya Fashlul Khithab fii Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab, yang menjelaskan bahwa Al-Qur’an yang ada ini telah mengalami perubahan dan penyimpangan.
b.    Tentang sahabat Rasulullah n
Diriwayatkan oleh “imam al-jarh wat ta’dil” mereka (al-Kisysyi) di dalam kitabnya Rijalul Kisysyi (hlm. 12—13) dari Abu Ja’far (Muhammad al-Baqir) bahwa ia berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi, dalam keadaan murtad kecuali tiga orang,” maka aku (rawi) berkata, “Siapakah tiga orang itu?” Ia (Abu Ja’far) berkata, “Al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi…” kemudian menyebutkan surat Ali Imran ayat ke-144. (Dinukil dari asy-Syi’ah al-Imamiyyah al-Itsna ‘Asyariyyah fi Mizanil Islam, hlm. 89)
Ahli hadits mereka, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini berkata, “Manusia (para sahabat) sepeninggal Nabi dalam keadaan murtad kecuali tiga orang: al-Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari, dan Salman al-Farisi.” (al-Kafi, 8/248, dinukil dari asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 45, karya Ihsan Ilahi Zhahir)
Demikian pula yang dinyatakan oleh Muhammad Baqir al-Husaini al-Majlisi di dalam kitabnya Hayatul Qulub, 3/640. (Lihat kitab asy-Syi’ah wa Ahlil Bait, hlm. 46)
Adapun sahabat Abu Bakr dan ‘Umar c, dua manusia terbaik setelah Rasulullah n, mereka cela dan laknat. Bahkan berlepas diri dari keduanya merupakan bagian dari prinsip agama mereka. Oleh karena itu, didapati dalam kitab bimbingan doa mereka (Miftahul Jinan, hlm. 114), wirid laknat untuk keduanya:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلىَ مُحَمَّدٍ وَعَلىَ آلِ مُحَمَّدٍ، وَالْعَنْ صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهِمَا وَطَاغُوْتَيْهِمَا وَابْنَتَيْهِمَا
“Ya Allah, semoga shalawat selalu tercurahkan kepada Muhammad dan keluarganya, laknatlah kedua berhala Quraisy (Abu Bakr dan Umar), setan dan thaghut keduanya, serta kedua putri mereka….”
Yang dimaksud dengan kedua putri mereka adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Hafshah c (pen.). (Dinukil dari kitab al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 18, karya as-Sayyid Muhibbuddin al-Khatib)
Mereka juga berkeyakinan bahwa Abu Lu’lu’ah al-Majusi, si pembunuh Amirul Mukminin ‘Umar bin al-Khaththab z, adalah seorang pahlawan yang bergelar “Baba Syuja’uddin” (seorang pemberani dalam membela agama). Hari kematian ‘Umar dijadikan sebagai hari “Iedul Akbar”, hari kebanggaan, hari kemuliaan, kesucian, hari barakah, serta hari sukaria. (al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 18)
Adapun ‘Aisyah dan para istri Rasulullah n lainnya, mereka yakini sebagai pelacur—na’udzu billah min dzalik—. Sebagaimana yang terdapat dalam kitab mereka Ikhtiyar Ma’rifatir Rijal (hlm. 57—60) karya ath-Thusi, dengan menukilkan (secara dusta) perkataan sahabat Abdullah bin ‘Abbas c terhadap ‘Aisyah x, “Kamu tidak lain hanyalah seorang pelacur dari sembilan pelacur yang ditinggalkan oleh Rasulullah….” (Dinukil dari kitab Daf’ul Kadzibil Mubin al-Muftara Minarrafidhati ‘ala Ummahatil Mukminin, hlm. 11, karya Dr. Abdul Qadir Muhammad ‘Atha)
Demikianlah, betapa keji dan kotornya mulut mereka. Oleh karena itu, al-Imam Malik bin Anas t berkata, “Mereka itu adalah suatu kaum yang berambisi untuk menghabisi Nabi n namun tidak mampu. Maka akhirnya mereka cela para sahabatnya agar kemudian dikatakan bahwa ia (Nabi Muhammad n ) adalah seorang yang jahat. Karena, kalau memang ia orang saleh, niscaya para sahabatnya adalah orang-orang saleh.” (ash-Sharimul Maslul ‘ala Syatimirrasul, hlm. 580)
c. Tentang imamah (kepemimpinan umat)
Imamah menurut mereka merupakan rukun Islam yang paling utama3. Diriwayatkan dari al-Kulaini dalam al-Kafi (2/18) dari Zurarah dari Abu Ja’far, ia berkata, “Islam dibangun di atas lima perkara:… shalat, zakat, haji, shaum, dan wilayah (imamah)…” Zurarah berkata, “Aku katakan, mana yang paling utama?” Ia berkata, “Yang paling utama adalah wilayah.” (Dinukil dari Badzlul Majhud, 1/174)
Imamah ini (menurut mereka, red.) adalah hak ‘Ali bin Abu Thalib z dan keturunannya, sesuai dengan nash wasiat Rasulullah n. Adapun selain mereka (Ahlul Bait) yang telah memimpin kaum muslimin, seperti Abu Bakr, ‘Umar, dan yang sesudah mereka hingga hari ini, walaupun telah berjuang untuk Islam, menyebarkan dakwah dan meninggikan kalimatullah di muka bumi, serta memperluas dunia (wilayah) Islam, maka sesungguhnya mereka hingga hari kiamat adalah para perampas (kekuasaan). (Lihat al-Khuthuth al-‘Aridhah, hlm. 16—17)
Mereka pun berkeyakinan bahwa para imam ini ma’shum (terjaga dari segala dosa) dan mengetahui hal-hal yang ghaib. al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang ma’shum, mulai ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia al-Imam al-Mahdi, sang penguasa zaman—baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam—yang dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, hlm. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t dalam kitabnya Minhajus Sunnah, benar-benar secara rinci membantah satu per satu kesesatan-kesesatan mereka, terkhusus masalah imamah yang selalu mereka tonjolkan ini.
d.    Tentang taqiyyah
Taqiyyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka nifaq (kemunafikan), dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan asy-Syi’ah al-Itsna ‘Asyariyyah, hlm. 80)
Mereka berkeyakinan bahwa taqiyyah ini bagian dari agama. Bahkan sembilan per sepuluh agama. Al-Kulaini meriwayatkan dalam al-Kafi (2/175) dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar al-A’jami, “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya 9/10 dari agama ini adalah taqiyyah. Tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyyah.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196)
Oleh karena itu, al-Imam Malik t ketika ditanya tentang mereka, beliau berkata, “Jangan kamu berbincang dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena sungguh mereka itu selalu berdusta.”
Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i t berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27—28, karya al-Imam adz-Dzahabi t)
e.    Tentang Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali orang yang telah meninggal. ‘Ahli tafsir’ mereka, al-Qummi ketika menafsirkan surat an-Nahl ayat 85, berkata, “Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah.” Kemudian dia menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini, ‘Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib z) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian’.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘alar Riwayatit Tarikhiyyah, hlm. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)
f.    Tentang al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka berkeyakinan bahwa al-Bada’ ini terjadi pada Allah l. Bahkan mereka berlebihan dalam hal ini. Al-Kulaini dalam al-Kafi (1/111), meriwayatkan dari Abu Abdillah (ia berkata), “Tidak ada pengagungan kepada Allah yang melebihi al-Bada’.” (Dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252)
Suatu keyakinan kafir yang sebelumnya diyakini oleh Yahudi4.
Demikianlah beberapa dari sekian banyak prinsip Syi’ah Rafidhah, yang darinya saja sudah sangat jelas kesesatan dan penyimpangannya. Namun sayang, tanpa rasa malu al-Khumaini (Khomeini) berkata, “Sesungguhnya dengan penuh keberanian aku katakan bahwa jutaan masyarakat Iran di masa sekarang lebih utama dari masyarakat Hijaz (Makkah dan Madinah, pen.) di masa Rasulullah n, serta lebih utama dari masyarakat Kufah dan Irak di masa Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) dan Husein bin ‘Ali.” (al-Washiyyah al-Ilahiyyah, hlm. 16, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, hlm. 192)
Perkataan Ulama tentang Syi’ah Rafidhah
Asy-Syaikh Dr. Ibrahim ar-Ruhaili di dalam kitabnya al-Intishar Lish Shahbi wal Aal (hlm. 100—153) menukilkan sekian banyak perkataan ulama tentang mereka. Namun karena sangat terbatasnya ruang rubrik ini, maka hanya bisa ternukil sebagiannya saja.
1.    Al-Imam ‘Amir asy-Sya’bi t berkata, “Aku tidak pernah melihat kaum yang lebih dungu dari Syi’ah.” (as-Sunnah, 2/549, karya Abdullah bin al-Imam Ahmad)
2.    Al-Imam Sufyan ats-Tsauri t ketika ditanya tentang seseorang yang mencela Abu Bakr dan ‘Umar c, beliau berkata, “Ia telah kafir kepada Allah l.” Kemudian ditanya, “Apakah kita menshalatinya (bila meninggal dunia)?” Beliau berkata, “Tidak, tiada kehormatan (baginya)….” (Siyar A’lamin Nubala, 7/253)
3.    Al-Imam Malik dan al-Imam Asy-Syafi’i rahimahumallah, telah disebut di atas.
4.    Al-Imam Ahmad bin Hanbal t berkata, “Aku tidak melihat dia (orang yang mencela Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Aisyah g) itu sebagai orang Islam.” (as-Sunnah, 1/493, karya al-Khallal)
5.    Al-Imam al-Bukhari t berkata, “Bagiku sama saja apakah aku shalat di belakang Jahmi (penganut Jahmiyah, red.) dan Rafidhi (penganut Syiah Rafidhah, red.), atau di belakang Yahudi dan Nashara (yakni sama-sama tidak boleh, red.). Mereka tidak boleh diberi salam, tidak dikunjungi ketika sakit, tidak dinikahkan, tidak dijadikan saksi, dan tidak dimakan sembelihan mereka.” (Khalqu Af’alil ‘Ibad, hlm. 125)
6.    Al-Imam Abu Zur’ah ar-Razi  t berkata, “Jika engkau melihat orang yang mencela salah satu dari sahabat Rasulullah n, maka ketahuilah bahwa ia seorang zindiq. Yang demikian itu karena Rasul bagi kita adalah haq dan Al-Qur’an haq, dan sesungguhnya yang menyampaikan Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah para sahabat Rasulullah n. Sungguh mereka mencela para saksi kita (para sahabat) dengan tujuan untuk meniadakan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka (Rafidhah) lebih pantas untuk dicela dan mereka adalah zanadiqah (orang-orang zindiq).” (al-Kifayah, hlm. 49, karya al-Khathib al-Baghdadi t)
Demikianlah selayang pandang tentang Syi’ah Rafidhah, mudah-mudahan bisa menjadi pelita dalam kegelapan dan embun penyejuk bagi pencari kebenaran. Amin.
Wallahu a’lam bish-shawab.

1 Pandangan ini tentunya bertentangan dengan ajaran Rasulullah n sebagaimana yang terdapat dalam banyak sabda beliau, di antaranya dalam Shahih Muslim, “Kitabul Imarah”.
2 Untuk lebih rincinya tentang Abdullah bin Saba’, lihat al-Kamil fit Tarikh, 3/154, karya Ibnul Atsir, al-Bidayah wan Nihayah, 7/176, karya Ibnu Katsir, dan Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahudi, karya Abdullah al-Jumaili, 1/98—164.
3 Menurut mereka, rukun Islam juga ada lima, akan tetapi mereka mengganti dua kalimat syahadat dengan imamah.
4 Secara jujur, ada kemiripan antara prinsip (akidah) mereka dengan prinsip (akidah) Yahudi, sebagaimana yang dinyatakan oleh para ulama. Untuk lebih rincinya, lihat kitab Badzlul Majhud fi Itsbati Musyabahatir Rafidhati lil Yahud, karya Abdullah al-Jumaili.